My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Minggu, 10 Mei 2009

Bagaimana Memahami Kurikulum Pendidikan?

Bagaimana Memahami Kurikulum Pendidikan?
Jakarta (Kompas: 13/03/06) Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal mengatakan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru akan dimulai pertengahan 2006 (Kompas, 27 Februari 2006). Di lain pihak, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro menegaskan bahwa tahun 2006 direncanakan ada pergantian kurikulum, yaitu berupa kurikulum hasil kreasi guru di sekolah.
Dua pernyataan dari petinggi pendidikan itu sekilas memberikan harapan bahwa dengan sertifikasi guru dan kebebasan guru dalam mengembangkan kurikulum dapat membawa perbaikan mutu pendidikan kita. Rasanya penulis tidak begitu optimis dengan pernyataan tersebut jika guru atau calon guru tidak memiliki kompetensi manajemen pengembangan kurikulum dan dasar-dasar manajemen mutu terpadu.

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan peserta didik nantinya, maka pengembangan kurikulum tidak bisa dikerjakan sembarangan.

Di samping itu, program pendidikan harus dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi. Oleh karena itu, kurikulum sekarang harus dirancang oleh guru bersama masyarakat pemakai.

Untuk bisa merancang kurikulum yang demikian, guru harus memiliki peranan yang amat sentral. Oleh karena itu pula, kompetensi manajemen pengembangan kurikulum perlu dimiliki oleh setiap guru di samping kompetensi teori belajar.

Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan.

Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan.

Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan.Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara.

Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan.

Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.

Manajemen pengembangan
Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah—baik penataran guru, seminar, dan pelatihan-pelatihan—kurang memberikan hasil yang meluas.

Kiranya sudah waktunya dipikirkan bahwa memberi bekal manajemen pengembangan kurikulum, teori belajar dan dasar- dasar manajemen mutu terpadu bagi guru dan calon guru sangat diperlukan. Di sinilah letak pentingnya peran LPTK yang mendidik calon guru dan yang akan menguji kompetensi guru.

Celakanya, dalam Pasal 5 (Ayat 1 dan 2) PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak dijelaskan bagaimana cara mencakup standar isi kurikulum itu. Lebih celaka lagi bila banyak guru yang memandang kurikulum dalam arti sempit. Mestinya, kurikulum harus dipandang dalam arti luas.

Menurut Beane (1986), yang dimaksud cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah bahwa kurikulum hanya berupa sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, sedangkan cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah bahwa kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.

Jadi, jika guru memandang kurikulum dalam arti sempit, mereka akan berpedoman secara ketat pada GBPP, bukannya proses pembelajaran demi penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta didik. Orientasi pembelajarannya pun didominasi guru (teacher centred).

Akibat kurikulum hanya dipahami dalam arti sempit, maka yang terjadi adalah pencapaian target penyelesaian dengan domain kognitif semata. Tentunya cara pandang kurikulum yang demikian itu akan cocok jika tujuan akhirnya adalah untuk memperoleh nilai baik dalam ujian nasional agar lulus.

Berbeda dengan cara pandang kurikulum dalam arti luas. Cara pandang ini menuntut guru untuk mampu berkreativitas, mengaitkan perilakunya di depan kelas dengan konteks pembelajaran yang menjadi pengalaman dan dibutuhkan oleh peserta didik, sehingga orientasi pembelajarannya berpusat pada peserta didik (learner centred).

Selama ini, sejauh yang penulis ketahui, banyak guru yang memandang kurikulum dalam arti sempit, sehingga tidak usah heran jika Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah diterapkan beberapa tahun ini mengalami kegagalan.

Dari pengalaman buruk itu, lalu timbul pertanyaan, materi kuliah apakah yang diberikan di LPTK untuk mata kuliah kurikulum pendidikan dan teori belajar? Apakah dengan adanya kebebasan guru untuk berkreativitas dalam mengembangkan kurikulum pembelajarannya akan membawa ke arah peningkatan mutu pendidikan? Bagaimana dengan budaya kerja guru-guru kita? Dan, apakah sertifikasi kompetensi pedagogik juga mengarah pada pembedahan wawasan guru tentang cara pandang kurikulum?

Di sinilah letak pentingnya manajemen pengembangan kurikulum yang harus dikuasai oleh guru/calon guru. Dalam manajemen pengembangan kurikulum, guru akan menemui setidaknya delapan problem yang berkaitan dengan standar isi dan standar proses kurikulum.

Kedelapan problem itu adalah (1) bagaimanakah membatasi ruang lingkup atau keluasan materi; (2) bagaimanakah mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan; (3) bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar; (4) bagaimanakah mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi;

(5) bagaimanakah mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan; (6) bagaimanakah agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang; (7) bagaimanakah merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh; dan (8) bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan/memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.

Kedelapan problem itu harus mampu dianalisis oleh guru. Setelah guru mampu mengembangkan kurikulum tentunya diperlukan verifikasi terus-menerus agar materi yang dikembangkan selalu up to date untuk kebutuhan pasar. Di sinilah letak pentingnya wawasan manajemen mutu terpadu dari guru agar selalu mampu melakukan plan, do, check, action (PDCA).

Dari uraian di muka, tentunya sudah tidak relevan lagi jika kegiatan ilmiah hanya mendengarkan orang berceramah. Sebaliknya, hanya action plan yang dapat menjawab terhadap pemahaman kurikulum.

Dengan demikian, gurulah yang menjadi pengembang kurikulum. Sebaliknya, BSNP tidak menjadi line staff. BSNP cukup membuat standar kompetensi minimal yang harus dikuasai oleh peserta didik.

Surjanto Budiwalujo
Guru SMK YP 17-1 Madiun
http://www.sampoernafoundation.org/content/view/116/48/lang,id/
Pada tanggal 6 Mei 2009, pada pukul 20.00

0 komentar: