My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Rabu, 18 Maret 2009

Laporan Observasi

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dunia pendidikan kita saat ini sedang mempunyai hajat besar. Sebuah perhelatan yang membuat orang yang terlibat merasa tegang dan was-was, antara lulus dan tidak lulus, antara kejujuran dan gengsi. Hajat besar itu adalah UN atau Ujian Nasional. Dunia pendidikan kita saat ini sedang mempunyai hajat besar. Sebuah perhelatan yang membuat orang yang terlibat merasa tegang dan was-was, antara lulus dan tidak lulus, antara kejujuran dan gengsi. Hajat besar itu adalah UN atau Ujian Nasional.
UN yang telah diadakan dari tahun ke tahun termasuk tahun sekarang terus memunculkan polemic tentang perlu tidaknya UN, resistensi ini muncul atas endapan keprihatinan pada kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan yang memprhatinkan karena sebuah tuntutan keadaan bangsa yang tak kunjung membaik, maka munculah sebuah pertanyaan yang besar, sudahkan pendidikan menjawab segala permasalahan bangsa yang semakin banyak dan kompleks. Adalah sebuah keharusan bagi semua pihak untuk memberikan perhatian lebih, dalam hal ini terutama pada aspek pelaksanaannya UN, dengan muncul kecurangan–kecurangan adalah penodaan kepada dunia pendidikan kita dan ini mengindikasikan bahwa memang pendidikan saat ini belum relevan.
Namun lebih dari itu, perhatian kita bukan semata pada aspek praktis semata, tapi juga memahami betul esensi dari UN itu sendiri. Memang membahas UN dari tahun ke tahun selalu saja kita dihadapkan pada topik yang usang, yang menjadi perdebatan masih tetap sama; perlu/tidak atau ada dan tidaknya UN. Hampir seluruh argumentas pro-kontra mencapai klimaks pada keharusan UN tetap diadakan. Buktinya sampai saat ini UN masih tetap diadakan.
Sebenarnya terlepas saat ini UN sudah dilaksanakan, sejatinya pemahaman akan pentingnya UN kembali kita buka. Kesimpulan tetap diadakanya UN adalah buah dari kesimpulan tanpa dasar pedagogis, bahwa dengan tingkat kelulusan dari tahun ke tahun yang meningkat merupakan indikator bahwa mutu pendidikan kita meningkat. Selain itu yang menjadi alasan kuat pragmatisme terus diselenggarkannya UN adalah logikanya bahwa ketika siswa diberikan sebuah “ujian” dengan tuntutan sebuah kelulusan, pemikiran mereka bahwa otomatis setiap siswa akan belajar keras untuk mencapai nilai standar kelulusan tersebut.
Ketika “nilai” dijadikan sebuah ukuran sebagai penyebab utama rendahnya mutu pendidikan atau baiknya mutu pendidikan adalah sebuah hal yang keliru, sebab hal itu merupakan penalaran non cause pro cause (bukan sebab dikiran sebab). Sebab, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pencapaian angka-angka kelulusan murni –walaupun itu satu indicator penting
Sejatinya pendidikan jauh melampui aspek kognisi (pengetahuan) ada dua ranah yang lain disamping aspek ognitive, yaitu sikap (attitude) dan praktik (skill). Maka pengembangan pendidikan tidak boleh dan tidak seharusnya terjadi semata-mata mana-suka, tetapi harus dituntun oleh kerangka filosofi dan ideology bangsa serta ideology pendidikan. Sebab di saat keadaan yang carut-marut seperti inilah pendidikan adalah sebuah jalan keluar untuk menciptakan karakter yang tangguh, berbudaya tinggi dan memiliki multi-level intelegence yang saling melengkapi.

1.2 Identifikasi Masalah
- Sudah pantaskah Ujian Nasional dilaksanakan di Indonesia?
- Bagaimana dampak psikologis bagi Siswa dengan diadakannya Ujian Nasional?
- Apa yang dilakukan orang tua untuk memotivasi anaknya untuk menghadapi Ujian Nasional?
- Kecurangan-kecurangan apa saja yang sering terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional?


1.3 Rumusan Masalah
Bukankah gambaranan dari pemahaman logika bahwa UN dapat meningkatkan mutu dan melahirkan budaya kerja keras merupakan kenyataan kotradiktif, justru hal itu merupakan langkah mundur dunia pendidikan kita saat ini. Bagaimana mungkin angka dan jumlah kelulusan menjadi ukuran mutu pendidikan? Jika demikian mau dibawa kemana arah pendidikan kita? Berorientasi pada angka semata. Sebab seperti apa yang diwasiatkan, bahwa nilai atau angka bukan ukuran dan segala-galanya. Dengan “dikatrolnya nilai” pendidikan di Indonesia saat ini telah kehilangan jati diri, seharusnya pendidikan menjadi tempat penanaman nilai-nilai yang akan diejawantahkan dalam kehidupan di masyarakat. Tapi saat in pendidikan telah melahirkan output yang premature dan tak jelas orientasinya. Maka sering ditemukan kontradiksi yang paling kurang ajar antara kemestian pendidikan dan realitas social yang terjadi. Lihat saja, realitas tak pernah hadir dalam wajah yang dusta. Berapa banyak, bisa kita hitung manusia-manusia “berpendidikan” dengan karakter dan wajah social yang (seolah) tak berpendidikan.
Oleh karenanya, mengembalikan semangat pendidikan kepada arah hasrat menyempurnakan bersama proses berdasarkan realitas dan kompleksitas manusiawi tidak bisa ditawar lagi. Dalam usaha memajukan kualitas pendidikan, tujuan jarang disentuh dan dijadikan program dasar propesional. Padahal, tujuan pendidikan itulah yang harus diperjuangkan untuk diraih oleh siapa pun yang berkecimplung dalam dunia pendidikan.
Fakta telah bicara tahun kemarin (2006), banyak siswa yang tidak lulus melakukan sikap yang menyimpang dan tidak terpuji contoh ada beberapa siswa yang nekat bunuh diri (Kompas, 22/6/2006), dan ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekoah sendiri, bahkan ada siswa berupaya melukai gurunya (Kompas, 25/2/2006).
Cobalah kita cermati mengapa seorang siswa dengan berani membakar sekolahnya sendiri? Bahkan sampai ada yang berani melukai seorang yang telah memberikan jasa dengan tanpa tanda jasa? Ini menjadi PR buat pendidikan di Indonesia, adakah pendidikan saat ini tidak saja menitkberatkan pada aspek IQ (Intelektual Quotient) belaka, tapi jauh lebih dari itu aspek EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Maka dengan tersentuhnya EQ dan SQ, buah hasil dari pendidikan tidak saja, kaya akan aspek ilmu pengetahuan, juga aspek emosional atau moral, penajaman hati nurani (conscience), bahkan lebih dari itu akan tercapainya siswa yang religius atau taat beragama.
Bukan lagi rahasia bahwa saat ini kunci kesuksesan dalam hidup, tidak lagi bertitik berat pada aspek pengetahuan (cognitive) atau IQ belaka, tapi aspek EQ dan SQ menjadi jauh lebih penting. Dengan adanya UN dan syarat kelulusan yang di anggap "tinggi", membuat siswa, orang tua, dan guru "resah". Namun di balik keresahan tersebut juga ada nilai positif, yaitu membuat orang tua peduli dan memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Terbukti ada yang konsultasi ke sekolah tentang kesulitan belajar anaknya, ada yang menerapkan disiplin belajar bagi anaknya, dan ada yang mengikutkan les di bimbingan belajar, walaupun sekolah sudah mengadakan jam tambahan.
Kejujuran merupakan faktor kunci untuk mendukung sistem pendidikan yang ada saat ini. Tidak ada yang salah dengan sistem pendidikan kita saat ini. Malaysia juga masih memakai buku tahun 70-an, tapi mereka jujur dalam penilaian. Selagi masih terdapat pihak yang tidak jujur terlibat di sistem pendidikan, maka hal tersebut hanya akan menghasilkan keruwetan hingga akhirnya generasi muda lah yang menjadi korbannya. Ujian nasional yang menghasilkan berbagai polemik, adalah hasil dari ketidak jujuran dan juga etos belajar serta kerja yang masih rendah. Hampir semua unsur dalam sistem pendidikan kita rendah tingkat kejujurannya. Sejak tahun 70-an hingga 2002 hasil EBTANAS selalu jeblok. Namun kelulusan bisa mencapai 100 persen karena nilai EBTANAS yang jeblok itu `didongkrak` nilai rapor yang dapat dimanipulasi," Bedjo menjelaskan. Sedangkan dalam sistem UN, yang nilainya tidak ditopang nilai lain, kecurangan juga masih ditemukan dalam berbagai cara seperti, mengirim kunci jawaban soal melalui sms kunci, tim sukses ujian dan sejenisnya. Dari mulai siswa, guru, kepala sekolah, orang tua, birokrasi pendidikan, semua kurang jujur bila menyangkut dunia pendidikan dan juga belum menyadari etos belajar dan kerja yang benar.
Akal-akalan dan manipulasi seringkali sudah menjadi hal yang wajar di dunia pendidikan.

1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan observasi ini adalah :
a. Memberikan penjelasan dan pemahaman kepada pembaca tentang pentingnya Ujian Nasional dalam sistem pendidikan di Indonesia.
b. Memberikan informasi pada pembaca mengenai keadaan pendidikan di Indonesia.
c. Mengetahui keuntungan dan kelemahan dari pelaksanaan Ujian Nasional.
d. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam menghadapi Ujian Nasional.
e. Menjelaskan kepada pembaca tentang apa saja persiapan yang dilakukan siswa untuk meghadapi Ujian Nasional yang akan segara berlangsung.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ujian Nasional
Hanya tinggal menghitung hari saja, ujian nasional (UN) tahun 2009, akan datang sebagai tamu kehormatan. Siapapun yang mendengar, kata Ujian Nasional, seketika wajah kita mengerut, alis mata berubah posisi, dan lubang hidung kita melebar. Bahasa tubuh, yang diringi dengan perasaan cemas ini, tidak bisa berbohong, untuk menunjukkan sikap kita terhadap UN, jangan-jangan kita tidak bisa menyambutnya dengan baik.
Menyikapi kehadiran ujian nasional, dilakukan jauh-jauh hari, oleh hampir semua murid, orang tua murid, guru, pengelola pendidikan, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, kepada tamu kehormatan tersebut. Hal ini dilakukan, sebagai bukti bahwa ujian nasional adalah tamu yang benar-benar agung dan diistimewakan. Kehadirannya, akan membawa sukses atau bencana, tergantung masing-masing individu, yang mensikapinya.
Mutu sumber daya manusia merupakan factor yang sangat menetukan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Untuk mewujudkan SDM yang bermutu dapat diselenggarakan melalui pendidikan yang bermutu. Ujian Nasional merupakan salah satu instrument untuk mewujudkan pendidikan bermutu dalam menghasilkan lulusan yang bermutu pula.
Ujian Nasional biasa disingkat UN adalah, kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan. Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya akan dapat membenahi mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar.
Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorong peningkatan mutu pendidikan. Yang di maksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting.
Manfaat standard setting ujian akhir:
1. Adanya batas kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kompetensi minimum.
2. Adanya standard yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai standard minimum pencapaian kompetensi.
Dalam konteks kepentingan, Ujian Nasional adalah kepentingan semua pihak, mulai dari murid itu sendiri, orangtua, sekolah, yayasan, pemerintah, sampai dengan penerbit buku, yang mengulas soal-soal Ujian Nasional. Sebagai murid, persiapan yang dilakukan tentu menuntut agar seluruh mata pelajaran yang di-UN-kan tuntas diberikan oleh Gurunya. Sementara, kepentingan Guru adalah bagaimana murid memiliki daya serap tinggi terhadap mata pelajaran yang disampaikan. Sedangkan kepentingan sekolah, jelas menghendaki tingkat kelulusan UN mencapai 100%, dengan tingkat nilai kelulusan yang signifikan. Sementara Yayasan mengharapkan agar penerimaan murid baru sesuai target yang direncanakan. Lingkaran kepentingan ini, terus berputar. Murid membutuhkan Guru yang professional, Guru membutuhkan Yayasan yang kondusif dan apresiatif. Kemudian, Yayasan membutuhkan murid sesuai target yang direncanakan. Keseluruhan lingkaran proses ini disebut proses belajar-mengajar. Jadi proses KBM bukan hanya di kelas saja. Menurut saya, dalam atmosfir pendidikan, kegiatan yang ada hubungannya dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dikategorikan sebagai proses kegiatan belajar mengajar. Ingat, bahwa orientasi pembelajaran selalu merujuk kepada prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together, secara sinergis.
Faktor ekternal yang mensupport percepatan proses KBM (kegiatan belajar mengajar) tersebut, yaitu orang tua murid dan Pemerintah (dalam hal ini Diknas setempat). Kepentingan orang tua murid, sebagai pengguna jasa pendidikan, menghendaki anak-anaknya mampu menyelesaikan pendidikan formalnya dengan lancar dan berhasil menguasai personal skill sebagai bekal hidupnya di masa depan. Sementara, kepentingan Diknas setempat, mengawasi dan memonitor kebijakan/program pemerintah, agar dapat berjalan sesuai juklak dan juknis yang dibuat.
Lingkaran kepentingan ini, kemudian menjadi bola salju, yang semakin tahun semakin membesar. Jika lingkaran kepentingan ini begitu besar, maka satu sama lain akan melahirkan kebutuhan yang besar pula. Kebutuhan inipun akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, memupuk ketergantungan satu sama lain. Secara internal, murid tergantung kepada Guru. Guru tergantung kepada lembaga nya atau Yayasan. Yayasan tergantung kepada murid. Sementara faktor eksternal, yang berpengaruh terhadap proses ketergantungan tersebut adalah orang tua murid dan Diknas. Keberadaan kedua elemen ini, untuk mensupport keberlangsungan proses yang terus berputar secara internal tersebut.
Dari proses ketergantungan yang kuat inilah, kemudian menimbulkan ekses-ekses, baik positip maupun negatif, diantara stakeholders, yang satu sama lain memiliki kepentingan masing-masing. Tulisan ini sengaja tidak memunculkan ekses-ekses yang berbau negatif, selain agar tulisannya terlihat positive thinking, juga agar tidak ada pihak-pihak yang merasa tersinggung, karena praktek-praktek yang sudah berjalan, layaknya seperti agenda rutin tahunan.
Orang tua murid yang menghendaki anak-anaknya sukses dalam UN, mengupayakan tambahan pendalaman mata pelajaran, melalui bimbingan belajar (bimbel), meskipun mungkin sekolah telah melakukan hal serupa bagi peserta didiknya. Sekolah melakukan penekanan habis-habisan untuk memacu produktivitas peserta didiknya (murid), untuk bisa lulus 100 %, melalui tambahan jam ke 0 dan jam ke 10. Diknas mengupayakan terselenggaranya pra-UN, dan sekolah-sekolah melakukan Try out, uji coba kemampuan UN.
Dalam rangka melihat kondisi dan suasana seperti ini, kita semua dituntut untuk bersikap arif dan bijaksana. Apapun persoalannya, apapun masalah yang menimpa kita, sebenarnya sama proporsionalnya (sama takarannya), hanya saja, yang membedakannya adalah sikapnya terhadap masalah tersebut, Apakah masalah itu bisa selesai atau bahkan bertambah parah, tergantung pada orang tersebut dalam menyikapinya.
Sikap seseorang terhadap masalah hidupnya, tergantung kepada kemampuannya dalam memahami siapa dirinya, mengetahui apa yang menjadi potensinya, dan memaknai apa yang menjadi tujuan hidupnya (apa yang penting dalam hidupnya). Kemampuan bersikap ini, secara khusus, tidak diajarkan di dalam kelas. Kemampuan bersikap dalam diri kita, diajarkan oleh banyak pihak, antara lain : orang tua kita, guru kita, lingkungan dan masyarakat di sekitar kita. Keseluruhannya, sangat mempengaruhi perkembangan sikap hidup kita sehari-hari. Kita tidak bisa menyalahkan satu dua orang saja, karena sikap seseorang tidak sesuai dengan harapan orang yang berkepentingan kepada orang tersebut. Banyak pihak yang membentuk kita bersikap, seperti ini.
Akhirnya, apabila semua pihak terakomodir kepentingannya, dan stakehorldes merasa puas terhadap lingkaran proses yang berlangsung dalam kegiatan belajar-mengajar, maka tamu kehormatan yang mana dari pada Ujian Nasional, tidak perlu ada kerisauan sekecil apapun. Anggap saja tamu itu, adalah orang tua, kerabat, saudara kita yang jauh-jauh datang, ingin melepas rindu kepada kita semua.

Selama ini penentuan batas kelulusan ujian nasional ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengambil keputusan (stakeholder) saja. Batas kelulusan itu ditentukan sama untuk setiap mata pelajaran. Padahal karakteristik mata pelajaran dan kemampuan peserta didik tidaklah sama. Hal itu tidak menjadi pertimbangan para pengambil keputusan pendidikan. Belum tentu dalam satu jenjang pendidikan tertentu, tiap mata pelajaran memiliki standar yang sama sebagai standar minimum pencapaian kompetensi. Ada mata pelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi minimum yang tinggi, sementara mata pelajaran lain menentukan tidak setinggi itu. Keadaan ini menjadi tidak adil bagi peserta didik, karena dituntut melebihi kapasitas kemampuan maksimalnya.
Dasar-dasar hukum dalam pelaksanaan Ujian Nasioanal antara lain :
1. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 6 tahun 2007 tentang pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Ujian Nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Materi soal untuk Ujian Nasional berasal dari Standar Kompetensi Lulusan irisan (interseksi) dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan kurikulum 1994, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2004, dan Standar Isi.
Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk :
1. Pemetaan mutu satuan dan/ atau program pendidikan.
2. Seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya.
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
4. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Adapun persyaratan dalam mengikuti Ujian Nasional antara lain :
1. Memiliki penilaian lengkap hasil belajar pada satuan pendidikan mulai semester 1 tahun pertama hingga semester 1 tahun terakhir.
2. Peserta didik karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti ujian nasional di satuan pendidikan yang bersangkutan, dapat mengikuti ujian nasional di satuan pendidikan lain pada jenjang dan jenis yang sama.
3. Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti ujian nasional utama dapat mengikuti ujian nasional susulan.
4. Peserta didik yang belum lulus ujian nasional berhak mengikuti ujian nasional di tahun berikutnya.





2.2 Tentang UASBN
UASBN adalah singkatan dari Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. Kemunculannya didasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 39 Tahun 2007, tanggal 16 November 2007. Menurut pasal 1 (1) pada Permendiknas tersebut dijelaskan, bahwa UASBN adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa. Dengan demikian, UASBN khusus dilaksanakan pada SD/MI/SDLB, sedangkan untuk SMP ke atas tetap ujian nasional (UN).
Pada tataran operasional, UASBN berpedoman pada Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 983/BSNP/XI/2007, tentang Prosedur Operasional Standar (POS) UASBN untuk SD/MI/SDLB Tahun Pelajaran 2007/2008.
Pelaksanaan UASBN sendiri merupakan pelaksanaan amanat PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang menyebutkan bahwa ujian nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya PP.
UASBN baru diberlakukan sejak tahun ajaran 2007/2008 dan pada tahun ini memasuki tahun ke dua setelah sebelumnya dalam tingkat sekolah dasar tidak ada ujian nasional namun diberlakukannya General Test. Dengan lahirnya Permendiknas tentang UASBN, maka mulai tahun 2007/2008, tahun ini memasuki tahun kedua, pada jenjang pendidikan sekolah dasar sudah mulai dilaksanakan ujian nasional sebagaimana jenjang di atasnya. Hanya saja, ujian nasional yang dilaksanakan baru dalam taraf “berstandar”, sedangkan dalam banyak karakteristik masih lebih bersifat ujian sekolah.
Materi UASBN meliputi tiga mata pelajaran, masing-masing Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pada ujian ini, materi yang disajikan merupakan perpaduan dari materi yang disediakan BSNP sebanyak 25 persen, dan sisanya 75 persen disiapkan oleh tingkat provinsi. Soal dari BSNP disusun oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) pada Balitbang Depdiknas, sedangkan soal dari provinsi disusun oleh guru yang mewakili setiap kabupaten/kota.
Dengan demikian dapat dipandang, bahwa UASBN adalah “semi UN”, atau UN yang masih akomodatif terhadap kondisi lokal. Hal ini patut dipahami, karena bagi jenjang SD, ujian nasional memang baru pertama dilaksanakan sejak beberapa dekade terakhir, sehingga memerlukan masa adaptasi dan transisi.
UASBN dilaksanakan dengan mekanisme yang relatif baru. Penyelenggara tingkat kabupaten/kota akan memiliki peran yang sangat besar. Hal ini bertolak belakang dengan pelaksanaan ujian di SD selama ini, dimana kabupaten tidak terlibat secara langsung, kecuali pengawasan dan pembinaan.
Pada UASBN, penyelenggara tingkat kabupaten melaksanakan kegiatan sejak pendataan, pembuatan database peserta, penetapan sekolah penyelenggara, sampai dengan melaksanakan pemindaian (scanning) hasil ujian, dan mengirim hasil pemindaian ke penyelenggara tingkat provinsi. Pembuatan database digital dan pemindaian merupakan kerja baru yang cukup berat, karena di samping membutuhkan perangkat keras yang memenuhi spesifikasi khusus, juga memerlukan tenaga dengan SDM yang memadai.
Pada pelaksanaan UASBN, hal baru yang muncul adalah penggunaan lembar jawab komputer (LJK) oleh peserta. Kendati LJK UASBN tidak serumit pada umumnya, karena peserta cukup menyilang, namun penggunaan LJK bagi siswa merupakan pengalaman baru yang memerlukan pembimbingan khusus.
Menilik materi ujian maupun tata cara pengisian jawaban pada UASBN, memang nampak perlu adanya persiapan yang ekstra dari semua pihak. Sekolah perlu memberikan bekal kemampuan yang cukup, orang tua perlu memberikan perhatian lebih, sedangkan kabupaten menyiapkan segala perangkat dan pelaksananya. Ujian memang kerja besar yang perlu peran serta segenap stakeholders pendudukan



2.3 Proses Pelaksanaan Observasi

Saya melaksanakan observasi di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah di daerah Ujung Menteng, Jakarta Timur. Saya melakukan obsrvasi pada hari senin 2 Maret 2009. pada saa itu saya langsung berkunjung ke sekolah tersebut untuk menemui kepala sekolah, akan tetapi dikarenakan kepala sekolahnya sedang barada di luar kota maka saya memutuskan untuk melakukan wawancara dengan salah seorang guru di madrasah tersebut yang bernama Ibu Siti Rahmah S.pd. ibu Siti Rahmah merupakan salah seorang guru disekolah tersebut, beliau mengajar kelas 6 SD, kebetulan beliau banyak mengerti tentang persiapan untuk Ujian Nasional di sekolah tersebut. Dalam kegiatan observasi tersebut saya menggunakan teknik wawancara, saya memberikan daftar pertanyaan kepada beliau dan beliau yang menjabarkan jawaban dari daftar pertanyaan yang saya berikan sebelumnya. Selain dengan wawancara beliau juga mengajak saya untuk mengunjungi ruangan kelas tempat beliau mengajar untuk mengetahui pula bagaimana kegiatan belajar dan mengajar berlangsung di sekolah tersebut.
Dua hari kemudian saya berkunjung kembali ke sekolah tersebut untuk menanyakan kembali hal-hal yang belum sempat saya tanyakan kemarin, akan tetapi saya tidak bertemu dengan Ibu Siti Rahmah, dikarenakan beliau tidak mengajar hari itu. Saya pun diberikan alamat rumah beliau oleh salah seorang guru di sekolah tersebut. Kemudian saya mengunjungi alamat yang diberikan salah seorang guru tersebut. Akhirnya saya melanjutkan kegiatan observasi ini di kediaman Ibu Siti Rahmah.









DAFTAR LIST PERTANYAAN DAN JAWABAN DARI PERTANYAAN

1. Bagaimana Pendapai Ibu Siti tentang mengapa perlu diadakannya Ujian Nasional di Indonesia?
Jawaban : menurut pendapat saya Ujian Nasional sangat perlu sekali diadakan di Negara kita ini, alasannya karena untuk mengetahui sejauhmana kemampuan anak didik atau peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru di kelas yang sesuai dengan standar nasional. Selain itu dengan diadakannya Ujian Nasional ini dapat memberikan motivasi bagi guru dan juga siswa untuk berbuat lebih baik lagi. Bagi guru Ujian nasional dapat mendorong guru untuk dapat mengajar lebih baik lagi agar para siswa benar-benar dapat menyerap materi pelajaran yang telah disampaikan, yang dapat berguna nanti dalam Ujian Nasional. Sedangkan bagi siswa dengan adanya Ujian Nasional ini dapat memnrikan motivasi bagi siswa untuk dapat belajar lebih giat lagi, bukan hanya untuk menghadapi Ujian Nasional saja melainkan juga untuk mencapai cita-cita mereka. Berdasarkan apa yang telah diutarakan beliau, saya dapat menyimpulkan bahwa beliau sangat setuju sekali apabila ada Ujian Nasional di Indonesia.
2. Seberapa Pentingkah kegiatan Ujian Nasional itu dilaksanakan?
Jawaban : sangat penting, karena dengan adanya Ujian Nasional tersebut standar pendidikan di Indonesia dapat terukur, baik dari peserta didik maupun para pendidik sehingga kelemahan yang ada dapat dicarikan solusi pemecahan masalahnya. Selain itu adanya Ujian Nasional juga dapat menjadi tolak ukur dalam tingkat penguasaan materi pelajaran oleh siswa dan juga metode dalam menyampaikan materi pelajaran oleh guru, apakah metode yang digunakan tersebut tepat atau tidak bagi peserta didik.



3. Apakah target sekolah ini dalam pelaksanaan Ujian Nasional pada tahun ini?
Jawaban : target sekolah dalam pelaksanaan Ujian Nasonal pada tahun ini adalah para peserta didik mampu menjawab soal-soal yang diujikan dalam Ujian Nasional untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sementara target secara keseluruhan dari pihak sekolah adalah agar seluruh siswa yang mengikuti ujian di sekolah ini dapat lulus 100%, walaupun pihak sekolah memiliki target yang demikian akan tetapi masih ada prediksi tentang siswa yang ditakutkan untuk tidak lulus, hal ini dikarenakan para guru melihat siswa tersebut kurang memiliki semangat dan motivasi dalam belajar sehingga nilai beberapa siswa tersebut agak tertinggal dengan siswa lain pada umumnya.
4. Bagaimana Persiapan Sekolah Untuk Menghadapi Ujian Nasional Yang Waktunya Sudah Dekat ini?
Jawaban : Persiapan yang dilakukan pihak sekolah dalam menghadapi Ujian Nasional pada tahun aini adalah dengan memberikan pengayaan materi pada siswa dan juga memberikan latihan-latihan soal misalnya dengan mengadakan try out sebanyak 9 kali try out. Pihak sekolah juga memberikan jam tambahan bagi siswa, yang dilaksanakan setiap hari senin, rabu dan kamis setelah jam belajar sekolah selesai yaitu sekitar jam 1 siang sampai dengan jam 2 siang. Selain itu pihak sekolah juga memberikan latihan bagi siswa yang mengikuti ujian untuk mengisi lembar jawaban computer agar lembar jawaban yang mereka isi dapat dibaca komputer, karena hal yang ditakutkan pihak sekolah adalah para siswa kurang baik dalam mengisi lembar jawaban komputernya. Misalnya saja lembar jawaban yang kotor atau sobek, mengisi bulatan jawaban tidak penuh atau yang lainnya.
5. Apa Saja Kendala Yang Dialami Pihak Sekolah Dalam Melakukan Persiapan Pelaksanaan Ujian Nasional?
Jawaban : Sejauh ini kendala-kendala yang dialami pihak solah dalam tahap persiapan Ujian Nasional adalah para peserta didik yang kurang matang mempersiapkan dirinya dalam mengahdapi Ujian Nasional atau dengan kata lain para peserta didik mentalnya belum kuat untuk menghadapi UN tahun ini. Selain itu kendala yang dihadapi dari factor eksternal adalah kurangnya support dari para orang tua terhadap anaknya dalam menghadapi UN ini. Misalnya saja para orang tua kurang bisa mengarahkan anak-anaknya untuk lebih banyak belajar dan membaca di rumah, bagi sebagian orang tua juga kurang mampu memotivasi anaknya, sehingga sang anak pun belum memiliki mental yang kuat untuk menhadapi UN.
6. Bagaimana Pihak Sekolah Menyikapi Kendala-kendala yang Dialami dalam Persiapan Ujian Nasional?
Jawaban : cara yang diambil atau yang dilakukan pihak sekolah untuk menyikapi kendala yang dialami antara lain pihak sekoalh mengumpulkan para wali murid untuk diberikan pengarahan kepada para orang tua agar lebih bisa memberikan motivasi yang besar terhadap anaknya agar anak-anak mereka memiliki mental yang kuat dalam menghadapi UN, memberikan pengarahan kepada orang tua agar lebih mendorong anak-anaknya untuk belajar lebih giat lagi, selain itu pihak sekolah juga menyarankan kepada para orang tua murid untuk mendaftarkan anak-anaknya ke lembaga-lembaga bimbingan belajar yang sudah marak saat ini. Dengan mengikuti bimbingan ini dapat menunjang belajar siswa selain bimbingan yang diadakan di sekolah. Sudah banyak juga orang tua yang sejak semester 1 di tahun terkhir ini sudah mendaftarkan anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah.
7. Bagaimana Respon Para Siswa Terhadap Pelaksanaan Ujian Tahun ini?
Jawaban : beraneka ragam respon siswa dalam menghadapi Ujian Nasional pada tahun ini. Ada siswa yang menanggapinya dengan rasa optimis, dan ada juga siswa yang menanggapinya dengan sikap pasrah. Bagi siswa yang menanggapi Ujian Nasional ini dengan pasrah pihak sekolah telah mengambil langkah-langkah untuk lebih memotivasi siswa tersebut agar mereka memiliki sikap yang optimis dalam mengahadapi Ujian Nasioanl tahun ini. Alasan mereka bersikap pasrah adalah karena mereka belum yakin dengan kemampuan atau kompetensi yang mereka miliki, mereka masih membutuhkan dorongan dan motivasi dari berbagai pihak baik itu sekolah, orang tua, teman-temannya dikelas untuk menguatkan mental yang mereka miliki. Alasan lain yaitu mereka belum mengetahui contoh atau betuk soal Ujian Nasional itu seperti apa, walaupun mereka telah mempelajari contoh bentuk soal ujian tahun lalu mereka masih gugup dalam menjawab soal-soal tersebut.


























2.4 Pengalaman Saya saat Mengikuti EBTANAS Pada Saat Saya Berada di Sekolah Dasar.

Pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar pada saat itu evaluasi tahap akhir bernama EBTANAS yang sekarang namanya yaitu UASBN. EBTANAS merupakan ujian tingkat nasional pertama yang saya ikuti pada saat itu. Pada saat itu mata pelajaran yang diujikan ada 5 mata opelajaran yaitu: Matematika, Bahasa Indonesia,Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Kesan pertama saya pada saat itu EBTANAS pasti sangat susah soal-soal yang akan ditanyakan, kartena pada saat itu saya sama sekali belum pernah mengikuti Ujian tingkat nasional sehingga saya berfikiran demikian.
Beberapa bulan sebelum EBTANAS itu berlangsung sekolah saya mengadakan persiapan yaitu dengan mengadakan penambahan materi melalui bimbingan belajar setiap hari setelah selesai jam belajar efektif. Dalam mengikuti kegiatan bimbingan belajar tersebut saya benar-benar menyimak apa-apa saja yang disampaikan oleh guru saya siapa tahu saja ada yang keluar dalam soal EBTANAS. Dalam bimbingan belajar tersebut selain penambahan materi, pada saat itu juga diajarkan bagaimana mengisi Lembar Jawaban Komputer yang benar. Setiap hari guru memberikan soal-soal latihan dalam bentuk pilihan ganda dan jawabannya menggunakan contoh fotokopi dari lembar jawaban computer, hal ini dilakukan agar siswa yang mengikuti EBTANAS tidak merasa gugup dalam mengisi lembar jawaban computer sehingga lembar jawaban tersebut dapat dibaca oleh computer.
Banyak materi-materi yang diberikan dalam penambahan materi yang belum diajarkan dalam proses belajar didalam kelas, selain itu untuk siswa juga diberikan cara cepat atau cara menjawab soal dengan cepat untuk soal-soal dalam bentuk hitungan misalnya mata pelajaran matematika.
Selain mendapatkan materi-materi tambahan di sekolah, saya juga mendapatkan dorongan atau motivasi dari kedua orang tua serta orang-orang yang berada di lingkungan sekitar saya. Setiap hari kedua orang tua saya menanyakan materi apa saja yang belum saya kuasai selama mengikuti kegiatan bimbingan belajar di sekolah, dan mereka memberikan nasihat kepada saya bahwa saya harus lebih giat lagi dalam belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi EBTANAS.
Beberapa bulan kemudian hari pelaksanaan EBTANAS itu pun tiba, pada hari itu saya sangat merasa gugup sekali sebelum berangkat sekolah soal macam apa yang akan saya hadapi nanti pada EBTANAS. Kemudian saya berangkat sekolah tidak lupa meminta doa restu kepada kedua orang tua saya. Lalu EBTANAS hari pertama pun sudah saya lalui kemudian saya bergegas pulang untuk belajar mempersiapkan materi untuk mata pelajaran yang berikutnya. Malam hari itu saya belajar sangat keras supaya saya dapat mengerjakan soal-soal EBTANAS dengan mudah esok harinya. Kemudian keesokan harinya tibalah saat EBTANAS hari kedua seperti biasa sebelum berangkat saya meminta doa restu kedua orang tua saya terlebih dulu. Siang harinya waktu pelaksanaan EBTANAS pun sudah selesai saya pun kembali pulang kerumah untuk belajar kembali. Akan tetapi saya merasakan tubuh saya merasa sangat lemas sekali dan kepala saya pun terasa sangat pusing sekali pada saat sesampainya di rumah. Sore harinya saya mengatakan kepada orang tua saya kalau saya sedang tidak enak badan pada saat itu, kemudian saya pun dibawa kedokter agar segera lekas sembuh. Dokter pada saat itu berkata kalau saya sebenarnya tidak kenapa-kenapa, hanya saja menurut dokter saya terlalu banyak pikiran saja sehingga daya tahan tubuh saya menurun saya pun diberikan obat oleh dokter tersebut. Dalam benak saya saya merasa bahwa perkataan dokter tersebut memang benar, saya terlalu banyak pikiran terutama pikiran-pikiran tentang pelaksanaan EBTANAS pada saat itu. Sampai dirumah pun saya beristirahat sambil belajar ringan, sehingga belajar saya tidak terlalu diporsir pada malam itu. Keeseokan paginya alhamdullilah tubuh saya sudah merasa agak baikan sehingga saya dapat mengikuti EBTANAS hari terakhir.
Itulah pengalaman singkat yang saya alami ketika saya mengikuti kegiatan EBTANAS pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Berbagai macam perasaan yang saya trasakan pada saat itu mulai dari proses persiapan untuk menghadapi EBTANAS sampai pada berakhirnya kegiatan EBTANAS tersebut. Ada perasaan yang sangat puas ketika selesainya ujian tersebut, dan alhamdullilah hasil EBTANAS saya pun cukup baik, pada saat itu NEM saya adalah 38,56 dan saya pun dapat masuk ke sekolah negeri sesuai dengan NEM saya tersebut. Tidak sia-sialah usaha dan kerja keras yang saya lakukan pada saat itu, saya yakin apabila seseorang melakukan bekerja keras untuk mencapai apa yang dicita-citakannya insyaallah ALLAH SWT akan membukakan jalan dan memberikan jalan yang terbaik untuk seseorang tersebut sesuai dengan kerja keras yang dilakukannya.



























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN
Ujian Nasional biasa disingkat UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan. Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya akan dapat membenahi mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar.
Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorong peningkatan mutu pendidikan. Yang di maksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting.
UASBN adalah singkatan dari Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. Kemunculannya didasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 39 Tahun 2007, tanggal 16 November 2007. Menurut pasal 1 (1) pada Permendiknas tersebut dijelaskan, bahwa UASBN adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa. Dengan demikian, UASBN khusus dilaksanakan pada SD/MI/SDLB, sedangkan untuk SMP ke atas tetap ujian nasional (UN).
Pada tataran operasional, UASBN berpedoman pada Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 983/BSNP/XI/2007, tentang Prosedur Operasional Standar (POS) UASBN untuk SD/MI/SDLB Tahun Pelajaran 2007/2008. Pelaksanaan UASBN sendiri merupakan pelaksanaan amanat PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang menyebutkan bahwa ujian nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya PP.
UASBN baru diberlakukan sejak tahun ajaran 2007/2008 dan pada tahun ini memasuki tahun ke dua setelah sebelumnya dalam tingkat sekolah dasar tidak ada ujian nasional namun diberlakukannya General Test. Dengan lahirnya Permendiknas tentang UASBN, maka mulai tahun 2007/2008, tahun ini memasuki tahun kedua, pada jenjang pendidikan sekolah dasar sudah mulai dilaksanakan ujian nasional sebagaimana jenjang di atasnya. Hanya saja, ujian nasional yang dilaksanakan baru dalam taraf “berstandar”, sedangkan dalam banyak karakteristik masih lebih bersifat ujian sekolah.

3.2 SARAN
Menyikapi kehadiran ujian nasional, dilakukan jauh-jauh hari, oleh hampir semua murid, orang tua murid, guru, pengelola pendidikan, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, kepada tamu kehormatan tersebut. Hal ini dilakukan, sebagai bukti bahwa ujian nasional adalah tamu yang benar-benar agung dan diistimewakan. Kehadirannya, akan membawa sukses atau bencana, tergantung masing-masing individu, yang mensikapinya. Adalah sebuah keharusan bagi semua pihak untuk memberikan perhatian lebih, dalam hal ini terutama pada aspek pelaksanaannya UN, dengan muncul kecurangan–kecurangan adalah penodaan kepada dunia pendidikan kita dan ini mengindikasikan bahwa memang pendidikan saat ini belum relevan.
Mutu sumber daya manusia merupakan factor yang sangat menetukan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Untuk mewujudkan SDM yang bermutu dapat diselenggarakan melalui pendidikan yang bermutu. Ujian Nasional merupakan salah satu instrument untuk mewujudkan pendidikan bermutu dalam menghasilkan lulusan yang bermutu pula.

Senin, 16 Maret 2009

Pembiayaan Pendidikan Perlu Diatur Lebih Tegas

Pembiayaan pendidikan masih harus diatur lebih tegas lagi. Terutama dengan adanya istilah pendidikan gratis yang kian mencuat, terutama dalam kampanye-kampanye pemilihan pejabat.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk Membedah Persfektif Pembiayaan Pendidikan, Rabu (5/3). Salah satu pembicara, pengamat pendidikan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika mengungkapkan, terdapat kesenjangan yang lebar terhadap pemaknaan "pendidikan gratis." Masyarakat mempersepsi pendidikan gratis sebagai gratis untuk semua keperluan pendidikan mulai dari SPP, buku, tas, pakaian, bahkan ongkos ke sekolah.
Pemerintah sendiri tidak mendefinisikan dengan jelas makna dari pendidikan gratis. Pemerintah pusat mengimplementasikannya dalam bentuk BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Sedangkan, pemerintah daerah seperti di DKI Jakarta melaksanakannya dalam bentuk BOP atau Biaya Operasional Pendidikan. Pendidikan gratis di DKI Jakarta diterjemahkan sebagai BOS ditambah BOP, tanpa dirinci biaya dan bantuan itu untuk pembiayaan apa saja.
Agus Suradika mengatakan, sebetulnya jika pemerintah mewajibkan warga negara untuk belajar melalui program wajib belajar pendidikan dasar, berarti pendidikan merupakan barang publik. Dengan diposisikan sebagai barang publik, pemerintah berwenang untuk mengatur. Namun, agar memiliki kekuatan memaksa, pemerintah sudah seharusnya menanggung bagian terbesar dari dana pendidikan

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN JARAK JAUH

Biaya Belajar Jarak Jauh
Dalam beberapa tahun ini ada pertumbuhan kebutuhan individu dan organisasi dalam memanfaatkan belajar jarak jauh sebagai alat untuk belajar. Belajar jarak jauh memberikan beberapa keuntungan dibandingkan belajar tradisional termasuk keluwesan dalam belajar dan menghemat biaya perjalanan dan akomodasi.

Perkembangan yang cepat dalam telekomunikasi telah membuat pendidikan jarak jauh lebih menarik dan lebih efektif. Metode telekonferensi, misalnya, memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan fasilitator.

Namun di sisi lain, ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan dalam belajar jarak jauh. Biaya itu tidak hanya tercermin dalam masalah keuangan tetapi juga aspek lain, seperti, kurangnya efektifitas dibandingkan dengan belajar ruang kelas tatap muka. Hal ini mengarahkan kita kepada suatu pertanyaan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti program belajar jarak jauh.

Studi berikut ini mencoba menjabarkan pertanyaan ini dengan menganalisis informasi yang telah dikumpulkan dari literatur, pengalaman beberapa anggota lembaga IDLN (Indonesian Distance Learning Network) yang menyelenggarakan belajar jarak jauh untuk karyawan mereka, dan pengalaman Institut Manajemen PPM dalam menyelenggarakan manajemen publik jarak jauh.
Bagian pertama studi ini mendiskusikan adanya peningkatan kebutuhan terhadap belajar jarak jauh dan metode yang digunakan dalam menyelenggarakan proses belajar. Bagian kedua studi ini menganalisis aspek biaya program belajar jarak jauh dan membandingkan biaya di antara berbagai macam metode dalam belajar jarak jauh.

Kebutuhan yang meningkat
Tak ada keraguan bahwa kebutuhan untuk mendayagunakan belajar jarak jauh meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Universitas tidak hanya menawarkan belajar jarak jauh tetapi juga berkolaborasi dalam konsorsium seperti Universitas Cardean. Yang lain mengembangkan portal belajar dengan perusahaan-perusahaan seperti Pensare dan Powered (The Economist, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan International Datra Corporation (IDC) di tahun 1998, 60% dari semua universitas di Amerika Serikat telah mengenalkan bentuk belajar jarak jauh dan diperkirakan pada tahun 2002 bentuk ini akan mencapai 90% (Oshima, 158, 2001). Di Amerika Serikat, e-learning, yang merupakan satu tipe belajar jarak jauh menggunakan komputer, telah tumbuh rata-rata pertahun 42% untuk lima tahun terakhir.

Di Indonesia, Universitas Terbuka yang menawarkan program gelar melalui belajar jarak jauh dapat akan segera diikuti oleh universitas lain karena adanya deregulasi belajar jarak jauh oleh Menteri Pendidikan Indonesia pada Agustus 2001. Kementerian-kementerian Besar Indonesia seperti Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja menyelenggarakan beberapa pelatihan untuk karyawan mereka dengan cara belajar jarak jauh. Institut Manajemen PPM, yang melaksanakan belajar program kursus manajemen jarak jauh, mengalami peningkatan jumlah peserta sebanyak 42% yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan peserta selama tiga tahun terakhir.

Macam-macam metode dalam belajar jarak jauh
Berdasarkan tujuannya, ada dua tipe institusi yang terlibat dalam belajar jarak jauh. Tipe pertama terdiri dari perusahaan yang membutuhkan latihan atau informasi kepada karyawan mereka berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan juga prosedur dan sistem yang baru untuk peserta pelatihan. Tipe kedua meliputi universitas atau lembaga pelatihan yang menawarkan program degree dan non degree untuk masayarakat umum. Dua tipe lembaga ini, yang berperan sebagai produser, didukung oleh lembaga-lembaga lain dalam mendistribusikan informasi. Lembaga pendukung ini meliputi jasa pos, perusahaan telekomunikasi dan penyedia software dan hardware.
Karena ada bermacam-macam metode proses belajar jarak jauh, kita dapat mengklasifikasikan mereka dalam dua tipe metode belajar. Pertama adalah tipe belajar satu arah yang merupakan kuliah melalui bermacam media (misalnya siaran radio, tv) di mana peserta didik hanya menerima informasi tetapi tidak dapat mengajukan pertanyaan.

Tipe kedua metode belajar adalah metode dua arah. Pada metode ini, peserta didik dan sumber belajar dapat berinteraksi. Contoh metode belajar dua arah adalah diskusi kasus melalui telekonferensi.

Walaupun kita dapat membagi metode belajar jarak jauh ke dalam dua katagori (yakni metode satu arah dan dua arah), banyak pelatihan menggunakan kombinasi dua metode ini. Misalnya, suatu pelajaran dikirim melalui bentuk tulisan kepada peserta didik (misalnya melalui surat, e-mail), kemudian peserta didik dapat mengajukan pertanyaan kepada instruktur.

Belajar tatap muka memiliki keuntungan fleksibel dalam menggunakan baik metode belajar satu arah maupun dua arah. Di samping fakta ini, ada upaya kelanjutan dari provider belajar jarak jauh untuk meniru belajar ruang kelas tatap muka agar mencapai efektifitas belajar yang sama. Universitas Phoenix misalnya, yang menawarkan program MBA secara online tahun 1989 dan diikuti oleh 12.500 peserta, lima kali lebih besar daripada kelas tatap muka dan beroperasi di 23 kota (Mc.Ginn, 2000). Perkembangan teknologi terakhir telah memungkinkan siswa mengambil bagian dalam sesi percakapan jarak jauh.
Di Universitas North Carolina - Chapel Hill ada program pembelajaran yang memanfatkan suatu ruang yang dinamakan 'ruang holografik' di mana siswa merasa berada di ruang kelas maya dengan menggunakan alat scanning mata yang berharga $10.000. "Ruang latihan" holografik dapat diciptakan tidak hanya dengan kehadiran instruktur tetapi juga dikelilingi oleh peserta lain dari lokasi yang tersebar secara geografis (Barbian, 2001).

Biaya belajar jarak jauh
Sebelum mendiskusikan biaya belajar jarak jauh kita harus merespon dua pertanyaan besar : (1) bagian apa yang harus digunakan sebagai titik acuan untuk menentukan seberapa banyak biaya yang diperlukan untuk mengikuti program belajar jarak jauh? (2) apa definisi biaya? Apakah itu hanya berkaitan dengan masalah keuangan atau aspek lain?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, adalah penting untuk melihat komponen biaya dalam melaksanakan program belajar jarak jauh. Dasarnya biaya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase proses : produksi, distribusi dan resepsi (Belawati, 2000). Biaya produksi meliputi biaya persiapan dan produksi bahan belajar. Biaya distribusi meliputi biaya penggunaan bermacam media, misalnya surat, telekomunikasi. Terakhir biaya resepsi adalah biaya yang harus dibayar oleh siswa, seperti biaya uang bayaran pelatihan atau pendidikan, biaya komputer, biaya listrik yang memang bagi siswa agar dapat belajar.

Oleh karena biaya produksi dan distribusi adalah komponen yang "dibiayai" oleh siswa, maka akan lebih tepat untuk mempertimbangkan biaya belajar jarak jauh secara total untuk siswa, yang kita sebut dengan biaya keuangan.

Pertanyaan kedua dapat dijawab dengan menggunakan titik pandang siswa. Biaya dalam istilah keuangan riil adalah faktor utama bagi siswa. Namun, ada "biaya" lain yang dilkeluarkan bagi siswa. Biaya-biaya itu meliputi waktu yang dibutuhkan (yakni panjang waktu yang dikehendaki untuk mempelajari suatu subjek), kehilangan efektifitas (misalnya apakah siswa sungguh mempelajari subyek?, tingkat putus sekolah). Kita dapat klasifikasikan semua biaya lain itu dalam dimensi "efektifitas".

Oleh karena itu, dua dimensi biaya belajar jarak jauh adalah : (1) biaya langsung (yakni biaya yang dikeluarkan oleh siswa) dan (2) efektifitas. Di samping itu, ada dua kelompok metode belajar jarak jauh yang harus dipertimbangkan dalam mengkalkulasikan biaya: (1) satu arah (2) dua arah.

Pilihan metode belajar dan juga media yang digunakan mempengaruhi biaya program belajar jarak jauh. Misalnya latihan menggunakan bahan-bahan cetak dikirim melalui surat adalah lebih murah dibandingkan dengan latihan yang sama dilaksanakan melalui telekonferensi via satelit.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam mengkalkulasikan biaya belajar jarak jauh adalah ekonomi skala. Unext.Com, universitas internet baru, terdiri dari lima sekolah elit - Columbia, Stanford, Chicago Melon dan London School of Economics menghabiskan $100 juta sebelum membuka program bisnis. Universitas itu membutuhkan $ 1 juta per course untuk mengembangkan kurikulum online dan strategi pembelajarannya yang baru melalui jaringan (McCormick, 2000). Dengan investasi yang sungguh besar adalah penting untuk memiliki sebanyak mungkin siswa agar mencapai economi skala.

Berkaitan dengan biaya yang dibayar siswa, Belawati (2000) berdasarkan atas studi yang diselenggarakan Dhanarajan (1994) menyarankan bahwa biaya penyelenggaraan belajar jarak jauh masih lebih rendah daripada pelatihan tatap muka.

Berdasarkan metode dan media yang digunakan, biaya pelatihan jarak jauh kira-kira 20% sampai 70% dari pelatihan tatap muka (konvensional). Di Institut Manajemen PPM, pelatihan manajemen jarak jauh menghabiskan biaya sekitar 20% dari biaya pelatihan tatap muka. McCormick (2000) menyarankan bahwa biaya di Unext bisa mencapai 80% dari biaya sekolah reguler bisnis paling terkenal di Amerika Serikat.

Dalam masalah efektifitas, tipe media yang digunakan dapat juga mempengaruhi pemahaman siswa. Kiser (1999), misalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan Deltaware,Inc. menemukan bahwa tingkat pemahaman siswa membaca bahan pelatihan melalui layar komputer hanya mencapai 25%. Sementara menggunakan text yang sama pada bahan cetak meningkatkan pemahaman sampai 70%.

Suatu survey atas peserta pelatihan manajemen yang dilakukan di Institut Manajemen PPM menunjukkan bahwa pelatihan tatap muka lebih efektif daripada pelatihan belajar jarak jauh.

Penemuan ini diperbesar oleh beberapa lembaga Indonesia yang menyediakan pelatihan jarak jauh untuk karyawan mereka yaitu bahwa walaupun menghabiskan biaya lebih tinggi, peserta lebih suka metode tatap muka ini.

Berdasarkan analisis sebelumnya kita dapat mengembangkan suatu peta dengan biaya keuangan dan biaya efektifitas karena dua dimensi utama itu. Peta, seperti ditampilkan pada gambar 1, menempatkan belajar jarak jauh menggunakan metode satu arah dan dua arah dan juga belajar ruang kelas tatap muka.


Peta itu menunjukkan bahwa metode belajar jarak jauh satu arah tidak hanya relatif lebih murah tetapi juga metode paling murah. Metode dua arah memiliki biaya keuangan lebih tinggi tetapi lebih efektif daripada metode satu arah. Akhirnya metode ruang kelas tatap muka dapat menjadi metode paling mahal tetapi fleksibilitasnya dalam pemilihan alat satu arah (misalnya pemberian kuliah) dan alat dua arah (misalnya diskusi kasus) membuatnya metode paling efektif di antara ketiga hal itu.

Depdiknas Hambat Desentralisasi

Dalam sejarah Otonomi Award, sangat sulit menemukan inovasi kebijakan daerah di bidang pendidikan yang murni lahir dari daerah. Mayoritas kebijakan atau program kabupaten/kota merupakan turunan program nasional dan/atau provinsi. Berikut ulasan Nur Hidayat dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
--------

Jika merujuk UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Ironisnya, atas nama standardisasi dan pengendalian mutu secara nasional, tidak sedikit kebijakan teknis yang seharusnya bisa diserahkan kepada daerah justru dikendalikan pemerintah pusat dengan cara-cara yang cenderung sentralistis.

Salah satu contoh kebijakan yang paling kontroversial selama tiga tahun terakhir adalah penyelenggaraan ujian nasional. Meski dikritik dan ditentang kalangan akademisi karena dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, pemerintah bergeming.

Contoh lain adalah mekanisme penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diperuntukkan bagi pembiayaan pendidikan dasar (SD/MI/salafiah dan SMP/MTs/salafiah). Seharusnya, pembiayaan pendidikan dasar -sebagai salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah daerah- disalurkan melalui mekanisme pembiayaan desentralisasi. Tapi, karena menjadi bagian dari program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS BBM), dana BOS justru disalurkan melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi.

Uniknya, dalam kedua contoh kasus tersebut, aparat pemerintah daerah -terutama pejabat dinas pendidikan- justru memilih diam dan cenderung "menikmati" kebijakan pemerintah pusat itu. Padahal, mengutip pendapat Daniel M. Rasyid, pengambilalihan wewenang evaluasi dari tangan guru melalui ujian nasional merupakan tamparan bagi profesi guru. Dalam kasus penyaluran dana BOS, aparat dinas pendidikan di daerah lebih mirip staf administrasi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) daripada pejabat yang mempunyai otoritas dan otonomi sendiri.

Enggan

Jika dicermati lebih dalam, sedikitnya ada tiga hal yang menjadi indikator keengganan pemerintah dalam mendorong percepatan desentralisasi pendidikan. Pertama, selain proyek fasilitas pembentukan dewan pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta komite sekolah, hampir tidak ada program signifikan dalam pemberdayaan kedua institusi baru tersebut yang didanai APBN/APBD. Program peningkatan kapasitas dewan pendidikan dan komite sekolah yang berlangsung selama ini cenderung artifisial dan sekadar memenuhi standar formal-prosedural.

Buktinya, berdasar hasil temuan monitoring JPIP, sangat sedikit daerah yang memberikan dukungan dana yang memadai bagi kegiatan operasional dewan pendidikan. Selain itu, jarang dijumpai pejabat dinas pendidikan yang membanggakan kinerja dewan pendidikan atau komite sekolah di daerahnya. Padahal, kedua institusi tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan otonomi pendidikan.

Kedua, sejak UU Sisdiknas diberlakukan pada 8 Juli 2003 hingga hari ini (sekitar 3,5 tahun), pemerintah baru menerbitkan dua peraturan pelaksanaannya. Kedua peraturan itu adalah PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Padahal, UU Sisdiknas membutuhkan tidak kurang dari satu lusin peraturan pelaksanaan.

Peraturan pelaksanaan yang tidak kalah mendesak untuk diterbitkan seperti yang mengatur pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pendanaan, dan pengelolaan pendidikan, pendidikan agama dan keagamaan, hingga wajib belajar pun seakan menjadi menu "to do list" di telepon seluler pejabat Depdiknas. Tidak banyak yang tahu, sudah berapa besar anggaran yang disedot untuk pembahasan beberapa peraturan yang dijanjikan rampung sejak pertengahan 2004 tersebut.

Lebih dari itu, akibat keterlambatan tersebut, beberapa kebijakan dasar Depdiknas selama 3,5 tahun terakhir seperti berjalan di atas hukum rimba. Contohnya, pembiayaan pendidikan dasar yang hingga kini masih menggunakan mekanisme dekonsentrasi.

Ketiga, kebijakan ujian nasional. Di luar perdebatan tentang aspek pedagogis dan yuridis terkait dengan UU Sisdiknas yang selama ini berkembang, pelaksanaan ujian nasional merupakan cermin semangat antidesentralisasi yang diidap pejabat Depdiknas.

Sebab, Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Depdiknas 2003 yang berlangsung pada 15-17 Juli 2003 -seminggu setelah UU No 20/2003 ditandatangani Presiden Megawati -sebenarnya telah menetapkan sekolah sebagai pelaksana ujian (akhir) nasional atau UAN mulai 2004. Mendiknas (waktu itu) Malik Fadjar menyatakan, pihaknya hanya memberikan pedoman dan beberapa materi soal UAN yang harus diujikan sekolah sesuai standar nasional dan tidak ada lagi UAN ulangan.

Pemberian wewenang tersebut dimaksudkan agar mutu lulusan sekolah setempat meningkat melalui pemberian soal UAN dan ujian sekolah yang tidak lagi nerupa soal pilihan berganda, tapi jawaban tertulis (esai). Selain itu, Depdiknas akan membentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) yang bertugas menilai pelaksanaan UAN di sekolah. Jika sekolah tidak serius melaksanakan UAN, akreditasi sekolah dinyatakan rendah (KCM, 18/7/2003).

Jika dicermati, keputusan tersebut amat sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan dalam UU No 20/2003. Sebab, evaluasi hasil belajar merupakan wewenang pendidik, sedangkan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah adalah mengevaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 58 dan 59 UU Sisdiknas).

Ironisnya, usia keputusan itu justru tidak sampai seumur jagung. Pada 4 Oktober 2003, Mendiknas Malik Fadjar mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 yang menjadi episode pertama serial "drama kolosal" inkonsistensi kebijakan UAN pasca pengesahan UU No 20/2003.

Kini, meski kebijakan tersebut sedang digugat di pengadilan melalui mekanisme citizen lawsuit, pemerintah tetap bergeming. Ujian nasional tetap akan dilaksanakan pertengahan April nanti. Dinas pendidikan di berbagai daerah pun menangkap peluang itu dengan sibuk menyiapkan proyek try out.

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Pendahuluan“Orang miskin dilarang sekolah,” demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).
Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme –seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah– neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).
Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.
Pendidikan Tanggung Jawab NegaraBeda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji, hal. 12).
Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).
Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Nabi SAW bersabda :
“Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim).
Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).
Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).
Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).
Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).
Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).
Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.
Pembiayaan Pendidikan Dalam KhilafahSistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat iniTelah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?
Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.
Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :
1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).
2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).
3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)
4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)
Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Pembiayaan Pendidikan Tinggi

Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.
Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.
Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?
Partisipasi
Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.
Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).
Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).
Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).
Keterbatasan dana?
Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.
Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.
Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.
Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.
Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?
Proyeksi pengembangan
Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.
Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.
Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.
Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.
Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.
Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.

Perbaikan Ruang Kelas Butuh Rp 13,75 Triliun

PEKANBARU (Riau Online): Pelaksana Tugas Bupati Inhu, HR Mambang Mit mengatakan untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan peningkatan terhadap sarana dan prasarana pendidikan secara standar. Hal tersebut terkait dengan ditemukannya satu sekolah tak lulus ujian akhir nasional yakni di SMAN 2 Kecamatan Kelayang Kabupaten Inhu.
"Dengan kondisi seperti ini, perlu ditingkatkan pendistribusian sarana dan prasarana pendidikan secara standar yang memenuhi persyaratan peningkatan pendidikan. Unsur sarana dan prasaranan itu meliputi sarana fisik, peningkatkan mutu guru, peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta sistem pendidikannya,"kata Mambang, Jumat (1/7).
Sedangkan penilaian UAN dilakukan berdasarkan standar nasional, dimana setiap daerah berbeda mutu pendidikan mereka. Hal tersebut ditemukan di SMAN 2 Kelayang, Mambang menilai lebih disebabkan kondisi geografis daerah itu yang tak dapat dipungkiri masih termasuk daerah pedesaan.
"Data membuktikan peserta UAN banyak berhasil di perkotaan, Kalayang termasuk daerah pedesaan dengan standar pendidikan, sarana dan prasarana yang belum memadai sementara kita ketahui kelulusan nilai UAN berdasarkan standar nasional,"ujarnya.
Jadi, agar dapat peroleh hasil yang maksimal dari UAN, sudah selayaknya pemerintah membuat standar input, setelah diberlakukan standar tersebut baru dibuat standar output.
"Untuk peningkatan mutu pendidikan, harus tetap dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru. Kita berupaya dengan APBD Inhu Rp600 miliar lebih untuk anggaran pendidikan 23 persen dari jumlah nominal APBD faktor utama dapat meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana agar mutu pendidikan lebih baik,"tuturnya

Penuhi Dulu Sarana-Prasarana

PEKANBARU (Riau Online): Pelaksana Tugas Bupati Inhu, HR Mambang Mit mengatakan untuk meningkatkan mutu pendidikan Jakarta - Dengan adanya standar nasional, pemerintah dituntut menambah alokasi dana agar standar ketentuan sarana dan prasarana minimal untuk SD, SMP, SMA, atau sederajat terpenuhi. Penyediaan sarana dan prasarana tersebut tidak berhenti pada tersedianya gedung sekolah yang layak.
“Adanya standar ini seharusnya memacu pemerintah untuk serius menyediakan anggaran pendidikan minimal 20 persen di APBN,” kata Wakil Koordinator Education Forum Yanti Sriyulianti, Sabtu (22/12) di Jakarta.
Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, pemenuhan penyediaan pendidikan yang berkualitas bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat saja karena sekarang sudah berlaku otonomi daerah.
Sementara Yanti menegaskan, masyarakat bisa menuntut pemerintah untuk memenuhi standar minimal soal lahan, gedung, jumlah siswa, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain.
Sekolah di daerah pedesaan dan terpencil kondisinya masih jauh dari standar minimum. Sebuah SD di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, misalnya, satu kelas diisi 84 siswa. Halaman sekolahnya sempit, tidak ada jamban, perpustakaan, dan laboratorium. Guru berkantor di lorong kelas. Dari data tahun 2003, jumlah ruang kelas rusak di tingkat sekolah dasar ada 531.186 ruang. Tahun 2008 tersisa 203.052 ruang. Perbaikannya butuh dana sekitar Rp 13,75 triliun.
Standar nasional sarana dan prasarana pendidikan di tingkat dasar dan menengah dimuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD, SMP, SMA atau sederajat. Di sini diatur mengenai satuan pendidikan, lahan, bangunan gedung, serta ketentuan sarana dan prasarana.
Jumlah siswa per kelas untuk SD ditetapkan maksimal 28 orang, SMP dan SMA (32 orang). Jarak sekolah dari permukiman di daerah terpencil, untuk SD diusahakan maksimal tiga kilometer dan SMP berjarak maksimal enam kilometer.
Sarana dan prasarana di tingkat SD, terdiri dari ruang kelas, perpustakaan—bagi siswa dan guru, laboratorium IPA, ruang pimpinan, ruang guru, tempat beribadah, ruang UKS, jamban, gudang, ruang sirkulasi, dan tempat bermain/berolahraga.
Untuk SMP ditambah ruang tata usaha, ruang konseling, dan ruang organisasi kesiswaan. Laboratorium SMA meliputi lab biologi, fisika, kimia, komputer, dan bahasa. (Kompas) .


perlu dilakukan peningkatan terhadap sarana dan prasarana pendidikan secara standar.

Tim PKK Lamongan Bantu Sarana Pendidikan TK

LAMONGAN, SELASA - Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga Selasa (10/6) memberikan bantuan bantuan dana pengadaan sarana dan prasarana pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak di Kecamatan Karanggeneng. Bantuan yang diberikan berupa mainan mandi bola dan cangkir putar serta bantuan pada Posyandu di Desa Mertani.
Bantuan kali ini diberikan kepada (TK) Mekar Sari di Desa Kawistolegi dan TK Jaya di Desa Jagran. Bantuan dana untuk penggadaan alat peraga diberikan kepada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah di Desa Kawistolegi. Selain itu bantuan diberikan untu k TK PKK Sejahtera dan bantuan dana perbaikan dan pembinaan kulintang PKK di Desa Mertani.
Sebelumnya Tim Penggerak PKK Lamongan juga telah memberikan bantuan serupa di Kecamatan Babat dan Modo. Ketua penggerak PKK Endang Ridjanti Masfuk berharap dengan bantuan tersebut anak-anak TK lebih semangat dan senang belajar. Dengan bantuan sarana perma inan diharapkan anak-anak TK lebih dapat ditingkatkan kreatifitas dan kecerdasan berpikirnya.
Bantuan yang diberikan merupakan bentuk apresiasi PKK terhadap pendidikan dini dan komitmen meningkatkan pendidikan di Lamongan. "Masa taman kanak-kanak merupakan masa keemasan anak dan peran pendidikan begitu besar dalam membentuk anak didik. Maka kami m emberikan dukungan pendidikan berupa dana pengadaan sarana dan prasarana untuk TK, " kata Endang.

Sarana Sekolah Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Jakarta, Pelita
Sarana dan prasarana sekolah turut andil di dalam meningkatkan mutu pendidikan di sebuah sekolah. Namun pada kenyataannya masih banyak sekolah yang tidak memiliki sarana dan prasarana yang lengkap.
Seperti masih adanya sekolah yang tidak miliki laboratorium. Padahal laboratorium adalah salah satu sarana prasarana yang cukup penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan terutama setingkat SMA.
Kualitas pendidikan tidak sekedar bergantung pada guru, tetapi juga sarana dan prasarana pendidikan yang memadai utamanya laboratoium dimana siswa bisa berpraktik, ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sarana Pendidikan Indonesia (APSPI) Iskandar Zulkarnain di Jakarta, Rabu (22/8).
Lebih lanjut Iskandar Zulkarnain banyaknya sekolah yang tidak memiliki sarana yang lengkap dikarenakan banyak faktor, diantaranya mahalnya alat sarana dan prasarana. Terlebih untuk harga peralatan laboratorium merupakan faktor yang paling banyak dikeluhkan pihak sekolah.
Apalagi kalau SMA itu milik swasta, boleh dikatakan sangat jarang yang memiliki laboratorium. Kalaupun ada sifatnya hanya seadanya atau asal ada saja. Padahal peralatan laboratorium sudah menjadi suatu keharusan bagi siswa SMA untuk memperdalam ilmunya.
Karena itu APSPI lanjut Iskandar akan mengambil peran aktif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui penyediaan alat peraga pendidikan ini. APSPI beranggotakan pengusaha sarana pendidikan yang meliputi pengusaha alat peraga pendidikan, multimedia pendidikan serta pengusaha laboratorium bahasa dan komputer.
Dalam kegiatannya nanti, APSPI berusaha menjembatani antara kepentingan sekolah, pemerintah dan pengusaha alat pendidikan.Jadi peralatan apa yang dibutuhkan sekolah, kami akan coba bantu untuk memenuhinya,kata Iskandar.
Sedangkan tujuan dari APSPI itu sendiri yaitu mewujudkan cita-cita bangsa dan negara secara aktif dalam nasional guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Undang-undang Dasar 1945.
Kemudian menghimpun, membina dan mengembangkan para anggotanya untuk dapat lebih berperan serta di dalam meningkatkan pembangunan perekonomian sosial. Selain itu melindungi kepentingan anggota dan mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dalam dunia usaha sarana pendidikan.

UN Harus Diikuti Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah

JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).
"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.
Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.
Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.

Bagamana Menjadi Guru Inspiratif?

Ada artikel yang menarik yang ditulis oleh pakar manajemen Rhenald Kasali pada harian Kompas terbitan tanggal 29 Agustus 2007 dengan judul GURU KURIKULUM DAN GURU INSPIRATIF. Kutipanya yaitu : “Ada dua jenis guru yang kita kenal yaitu guru kurikulum dan guru Inspiratif. Guru kurikulum sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransper semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking) dan jumlahnya sekitar 99%. Sedangkan guru inspiratif jumlanya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box) mengubahnya di dalam lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Guru kurikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.”

Melihat kondisi pendidikan/system sekolah umumnya di Indonesia, guru-guru memang terbelenggu oleh ketentuan administrative yang harus dipatuhi seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Sesuai dengan ketentuan yang ada bahwa wujud pelaksanaan pendidikan di sekolah tertuang dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan intrakurikuler sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-muridnya mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara menyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan memiliki arti sebagai pengembangan potensi manusia. Dengan demikian proses pendidikan yang ada di sekolah mestinya tidak hanya melulu berorientasi pada aspek kognitifnya saja atau dengan kata lain lebih mengacu pada perolehan nilai tetapi juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai lain seperti emosional, kepribadian, spiritual dan social. Akan tetapi yang terjadi di lapangan peran guru lebih banyak mengajar dari pada mendidik. Artinya ketika guru masuk ke ruang kelas maka yang dilakukan hanya menyampaikan materi yang ada di buku atau dengan kata lain bersifat curriculum oriented (terjebak pada kegiatan pencapaian target kurikulum), dan bersifat content oriented atau pencapaian tujuan kognitif yang malah jauh dari pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan pada kegiatan ekstrakurikuler pembinaan dan pengembangan potensi belum mendapatkan proporsi yang sewajarnya. Padahal kegiatan ekstrakurikuler diharapkan mampu mengembangkan potensi anak didik diluar potensi akademiknya. Sejatinya kegiatan ekstrakurikuler (baca: pembinaan kesiswaan) mengarahkan dan mengembangkan potensi anak didik untuk berwawasan masa depan (looking forward), memiliki keteraturan pribadi (self regulation) dan memiliki rasa kepedulian social yang baik (holy social sense). Bagaimana seharusnya peran guru? Kegiatan Intrakurikuler yang terjadi sekolah yang dilakukan oleh guru dan peserta didik sudah saatnya diubah paradigmanya. Perlu pendekatan lain yang dilakukan oleh guru ketika berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selama ini guru lebih menekankan pada pendekatan intelektual/intelgensia atau hanya mengejar nilai. Sedangkan ketrampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk mencontek atau melakukan usaha-usaha yang tidak baik karena tuntutan angka sehingga nilai-nilai pendidikan terabaikan. Menurut pendapat saya ada 3 pendekatan yang bisa dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran dikelas :
1. Melalui Pendekatan Kecerdasan Emosional
Otak manusia terdiri ari dua lapisan yaitu lapisan luar (neo cortrex) dan lapisan tengah (limbic system). Di wilayah lapisan luar otal, manusai -atas ijin Allah- mampu berhitung, mengoperasikan computer, mempelajari bahasa Inggris, dan perhitungan yang rumit lainnya. Melalui penggunaan otak neo-cortex inilah lahir intelegence quotient/IQ atau kemampuan intelektual (Ary Ginanjar A: Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power). Kecerdasa ini berkaitan dengan kesadaran terhadap ruang, kesadaran pada sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. Sedangkan pada lapisan tengah otak (limbic system) terletak pengendali emosi dan perasan manusia yang memungkinkan manusia luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan dan bertanggung jawab. Perilaku inilah yang disebut kecerdasan emosional/EQ (emotional quotient) yang dapat dimaknai serangkaian kecakapan untuk melapangkan jalan di dunia yang penuh liku-liku permasalahan social. Pada ranah inilah saya pikir, guru bisa membangkitkan potensi anak didiknya untuk menempuh kesuksesan dengan mengembangkan rasa simpati dan empati pada sesama, sifat kerja keras dan bertanggung jawab. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pakar psikolog yaitu Steven J. Stein dan Howard E. Book, bahwa IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20%, bahkan hanya 6%. Jadi pendekatan emosional yang dilakukan guru terhadap siswanya ketika interaksi di kelas, bisa mendorong siswa untuk sukses dengan tidak hanya mengandalkan dari sisi IQ-nya saja. Pendekatan emosional yang bisa dilakukan misalnya dengan selalu menebarkan energi positif pada anak didik, toleransi terhadap ketidaksempurnaan, dan mencintai sepenuh hati anak didik dengan perbedaan yang dimiliki mereka. 2. Melalui Pendekatan Kecerdasan Spiritual
Pada ranah ini, pendekatan yang harus dilakukan oleh guru adalah meningkatkan potensi siswa dengan membangkitkan spiritual quotient dengan cara menanamkan/mengajarkan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam agama. Pondasi dari kecerdasan spiritual adalah Ihsan. Ihsan berasal dari kata husn yang artinya sesuatu yang baik dan indah. Dalam pengertian umum bisa bermakna positif termasuk kejujuran, kebajikan, keindahan dan keramahan. Ihsan dalam belajar atau bekerja adalah bagaimana seseorang dapat belajar/bekerja dengan jujur dan amanah dan mengerjakan sesuatunya secara benar-sesuai peraturan yang ditetapkan. Jika Allah saja mengerjakan sesuatu yang indah dalam berhubungan dengan makhluknya maka manusia dituntut pula untuk berbuat kebaikan atau keindahan. Alhasil ihsan adalah berbuat baik seolah-olah seseorang melihat Allah. Saya pikir hal inilah yang bisa guru tanamkan kepada setiap anak didik/siswa bahwa setiap yang dilakukan oleh kita manusia adalah bernilai ibadah dan sebagai manusia harus bisa memberi manfaat bagi manusia yang lain.
3. Melalui Pendekatan Kecerdasan Sosial
Menurut Edward L. Thondrike kecerdasan social (socialintelligence) adalah kemampuan untuk saling mengerti sesama manusia dan bijaksana dalam hubungan sesama manusia. Dia menegaskan kecerdasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik. Saat ini banyak tudingan terhadap dunia pendidikan dimana produk pendidikan kita adalah manusia-manusia yang biasa menyikut orang untuk mempertahankan kepentingannya karena kurikulum ternyata mendorong orang semakin cerdas sekaligus menyuburkan sikap-sikap individualistic alias mementingkan diri sendiri. Gaya hidup ini menghapus bersih sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur. Bayangkan bila penguasa masa depan adalah produk dari dunia pendidikan seperti ini. William Chang, seorang pemerhati social menyebut fenomena ini menghasilkan manusia yang bereaksi lamban. Kelambanan bereaksi ditafsirkan akibat rendahnya kecerdasan sosial. Sisi inilah yang barangkali bisa digali dan dikembangkan oleh guru pada anak didiknya. Harus disadari bahwa latar belakang sosial anak didik berbeda-beda baik suku, bahasa, agama, bahkan tingkat ekonominya. Disisi lain manusia sebagai makhluk social tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu penting kiranya mengembangkan sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur pada setiap anak didik. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mempraktekan 5 S (senyum, sapa, salam, sabar dan syukur). Mudah-mudahan melalui 3 pendekatan ini, guru bisa menjadi inspirasi bagi setiap anak didik untuk bisa sukses dalam kehidupannya baik ketika dia bekerja maupun ketika menjadi pemimpin.

Indonesia-Turki Tingkatkan Kerja Sama Pendidikan

Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Turki mempererat kerja sama bidang pendidikan. Kerja sama tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan hubungan kedua negara yang selama ini sudah terjalin dengan baik.

Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dilakukan pada Kamis (22/1/2009) di Depdiknas, Jakarta oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Menteri Pendidikan Republik Turki Husyin Celik. Sebagai tindak lanjut MoU ini akan dibentuk kelompok kerja bersama (joint working group) yang akan mendesain bentuk kerja sama lebih rinci.

Hadir pada acara Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi, serta sejumlah pejabat eselon II Depdiknas.

Mendiknas mengatakan, secara garis besar kerja sama ini meliputi pertukaran informasi bidang pendidikan, pertukaran dosen, guru, mahasiswa, dan siswa, serta pertukaran tenaga ahli. Selain itu, kata Mendiknas, akan diselenggarakan kerja sama di bidang perguruan tinggi dan politeknik untuk peningkatan mutu pendidikan. "Kemudian, pengakuan gelar atau penyetaraan gelar yang dihasilkan universitas di Turki dengan universitas di Indonesia. Penyetaraan akan diatur dalam joint working group," katanya.

Selama ini, kata Mendiknas, kedua negara telah menjalin kerja sama pengembangan guru, dosen, dan kepala sekolah. Pada kunjungannya ke Turki akhir 2007 yang lalu, Mendiknas berkesempatan bertemu dengan sebanyak 40 kepala sekolah yang sedang mengikuti program kerja sama. Ke depan, kata Mendiknas, akan lebih ditingkatkan pengajaran bahasa Turki di Indonesia dan pengajaran bahasa Indonesia di Turki. "Saya berharap kerja sama ini akan berkembang lebih baik," katanya.

Husyin menyebutkan, mulai 2009, Pemerintah Turki akan meningkatkan pemberian beasiswa pendidikan jenjang S2 dan S3 kepada mahasiswa Indonesia sampai dengan 300 persen. Sebelumnya, kata dia, Pemerintah Turki hanya memberikan beasiswa pendidikan jenjang S2 dan S3 sebanyak lima orang per tahun. Mulai 2009 akan meningkat sampai dengan 20 orang per tahun. Beasiswa untuk jenjang S2 dan S3 meningkat dari dua orang menjadi lima orang, sedangkan untuk kursus bahasa Turki dari dua orang menjadi lima orang. "Khusus untuk penelitian tetap dua orang per tahun," katanya.

Lebih lanjut Husyin mengatakan, sampai dengan tahun 2006 pendidikan nasional Turki mengirimkan sebanyak 50 mahasiswa S2 dan S3 untuk belajar di luar negeri. Dia menyebutkan, setelah tahun 2006 sampai dengan sekarang telah mengirimkan sebanyak 1.000 mahasiswa S2 dan S3 untuk belajar ke luar negeri. "Mudah - mudahan kita rencanakan akan mengirimkan mahasiswa ke tiga universitas papan atas di Indonesia," ujarnya.

Husyin menambahkan, dalam waktu dekat pemerintah Turki berencana akan menerbitkan buku sejarah hubungan Indonesia dengan Turki ke dalam bahasa Turki dan meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Selama empat hari kunjungan resminya ke Indonesia, Husyin akan mengunjungi beberapa sekolah dan universitas di Indonesia, yakni ke SMA Negeri 70 Jakarta, Sekolah Kharisma Bangsa Pondok Cabe Tangerang, Universitas Indonesia Depok, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Seni dan Budaya.

Tata Kelola Perekrutan Guru Harus Dibenahi

Beberapa tindakan asusila dan kriminalitas tenaga pendidikan yang terjadi akhir-akhir ini disinyalir disebabkan oleh tata kelola perekrutan tenaga pendidik yang tidak terkendali. Rekrutmen guru yang tidak berdasarkan peraturan ketat menyebabkan jumlah guru menjadi berlebihan. Banyaknya guru honorer yang melebihi kebutuhan menjadi permasalahan serius karena penyebaran guru yang tidak merata. Tidak meratanya penyebaran guru merupakan kesalahan yang fatal. Penumpukan terjadi di kota, angkanya mencapai 76 persen. Hal tersebut disampaikan oleh sekretaris Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Giri Suryamatna.

Lebih lanjut ditegaskan, perbandingan jumlah guru dan siswa tidak seimbang. Idealnya satu guru minimal mengajar 25 siswa, tetapi kenyataannya di Indonesia untuk sekolah dasar satu guru mengajar 20 siswa, sekolah menengah pertama 17 siswa dan untuk sekolah menengah atas 14 siswa.
Saat ini Depdiknas tengah mengkaji peraturan perekrutan guru agar seleksinya lebih ketat sehingga lonjakan tenaga pendidik tidak lagi terjadi. Giri menjelaskan seleksi guru seharusnya memenuhi beberapa kompetensi antara lain pedagogis, keahlian serta kepribadian atau akhlak mulia.Dengan memperketat perekrutan maka jumlah tenaga pendidik yang tidak berkompetensi dapat ditekan dengan begitu anggaran pendidikan akan lebih bermanfaat.

Namun melihat kondisi Indonesia sekarang ini maka penyelesaian guru honorer harus didahulukan dari tata kelola perekrutan guru baru. Dengan adanya tata kelola yang tepat sasaran diharapkan kualitas tenaga pendidik dapat meningkat dan menghilangkan tindak kriminalitas di dunia pendidikan.
Nantinya, Giri mengharapkan pemerintah daerah dapat dengan serius menangani perekrutan guru. Pemerintah Pusat bertugas mengontrol proses seleksi. Jika nanti proses seleksi guru masih tidak terkendali terpaksa pusat akan menunda anggaran.

Meningkatkan Mutu Tenaga Kependidikan

Guna meningkatkan mutu pendidikan Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dit. Tendik Ditjen PMPTK) Depdiknas mengembangkan berbagai program menyangkut peningkatan mutu tenaga kependidikan. Upaya ini dilakukan meliputi tiga aspek, yakni kebijakan, kegiatan peningkatan mutu, dan peningkatan kesejahteraan.

Direktur Tenaga Kependidikan Surya Dharma mengatakan, pada Tahun 2007 Depdiknas telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 12 Tahun 2007 tentang standar kompetensi dan kualifikasi pengawas sekolah dan Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang standar kompetensi dan kualifikasi kepala sekolah. "Diharapkan seleksi dan pengangkatan kepala sekolah dan pengawas sekolah ke depan sudah mengacu pada standar itu," katanya pada jumpa pers di Gerai Informasi dan Media (GIM) Depdiknas, Jakarta pada hari ini.

Menurut Surya, saat ini pemerintah juga sedang mempersiapkan pedoman standar seleksi calon kepala sekolah dan pengawas sekolah untuk SMA dan SMK. "Memang belum beredar, tetapi dalam finalisasi tahun ini," ujarnya. "Dikembangkan juga standar pelatihan dan materinya kita tetapkan."

Selanjutnya, kata Surya, upaya meningkatkan mutu tenaga kependidikan dilakukan dengan memberikan subsidi bagi 80 orang kepala sekolah untuk meningkatkan kualifikasi ke jenjang S1. Dana bantuan pendidikan yang diberikan sebesar lima juta rupiah per orang.

Bagi pengawas sekolah SMA/SMK diberikan subsidi untuk melanjutkan ke jenjang S2 sebanyak 40 orang. Dana bantuan pendidikan yang diberikan sebesar sepuluh juta per orang. Selain itu, kata Surya, bersama-sama Biro Perencanaan Depdiknas menawarkan program S2 program quality assurance untuk meningkatkan kemampuan pengawas sekolah dan program school leadership bagi kepala sekolah.

Menurut Surya, program peningkatan kualitas bagi kepala sekolah maupun pengawas sekolah akan dilakukan dengan program sandwich. Progam akan diselenggarakan di Universitas Negeri Malang, Universitas Pendidikan Bandung, dan Universitas Negeri Padang, sedangkan institusi pasangannya adalah Nasional Institute of Education Singapura, Monash University Australia, dan University of London. "Pelaksanaannya tiga semester di Indonesia dan satu semester di luar negeri. Kita harapkan orang-orang ini nanti yang bisa mengembangkan jaminan kualitas pengawas sekolah dan kepala sekolah," katanya.

Lebih lanjut Surya mengatakan, untuk pemerataan peningkatan mutu diselenggarakan program kemitraan. Program kemitraan dilakukan antara kepala sekolah di daerah yang maju dengan daerah yang tertinggal. "Kepala sekolahnya ini yang bermitra, kalau kembali nanti dia menuaikan apa itu sekolah-sekolah yang maju, budaya, dan pembelajarannya. Ada tiga aspek yang dipelajari yakni, pembelajaran, manajemen, dan pemberdayaan masyarakat," katanya.

Program kemitraan ini, kata Surya, meliputi 120 sekolah SD dengan perincian 60 sekolah maju dan 60 sekolah belum maju yang berada pada 12 provinsi yakni, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, NTT, NTB, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, DIY, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.

Program kemitraan pada jenjang SMP meliputi 120 sekolah SMP dengan perincian 60 sekolah maju dan 60 sekolah belum maju yang berada pada 12 provinsi yakni, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara, NTT, NTB, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, DIY, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.

Adapun kemitraan kepala sekolah SMA meliputi 200 sekolah belum maju dan 100 sekolah maju yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, Sulawesi Barat, dan Papua.

Sementara dalam rangka membina kepala sekolah dan pengawas sekolah, kata Surya, Depdiknas telah memberikan blockgrant sebesar sepuluh juta rupiah bagi Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP dan SMA, Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) SD, dan KKPS (Kelompok Kerja Pengawas Sekolah) SD sebanyak 3087 kelompok di 441 kabupaten dan kota.

Bantuan blockgrant diberikan juga kepada sebanyak 260 sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI) untuk membina tenaga kependidikan dan guru. "Sebagai penghargaan kepada kepala sekolah dan guru juga diberikan subsidi rumah dinas. Tahun ini sebanyak 236 unit rumah dinas diberikan sebagai salah satu bentuk program kemaslahatan dan penghargaan kepada kepala sekolah dan guru," kata Surya.