My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Selasa, 10 Februari 2009

Profil Diri

Profil Diri


Nama saya Kristian Novi Aristanto atau biasa dipanggil “Tian” oleh teman-teman saya. Saya dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari tahun ’89, saya anak pertama dari 2 bersaudara. Saya memiliki seorang adik perempuan yang sekarang baru duduk di bangku SMA. Saya sangat hobi sekali menonton dan bermain sepak bola terutama futsal. Sekali dalam seminggu saya bermain futsal di tampat futsal bersama teman-teman saya. Kedua orang tua saya bekerja sebagai Pegawai di salah satu perusahaan swasta di daerah Kawasan Industri Pulogadung. Pada saat ini saya masih tinggal bersama kedua orang tua saya di Perumahan Pondok Ungu Permai Blok D8 No.3 Bekasi Utara. Sebelum tinggal di perumahan ini saya tinggal di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, kemudian pada saat umur saya 4 tahun saya sekeluarga pindah ke Bekasi. Kedua orang tua saya mendidik saya untuk menjadi orang yang berani dan bertanggung jawab. Saat anak-anak saya bersekolah di TK. RA Amanah 2 tahun kemudian saya lulus dari sekolah tersebut dan melanjutkan ke SDN Kaliabang Tengah III. Selama 6 tahun saya bersekolah di SD tersebut kemudian saya melanjutkan sekolah kembali ke jenjang pendidikan yang berikutnya yaitu SLTP. Saya bersekolah di SLTP Negeri 19 Bekasi, banyak pengalaman yang saya dapatkan selama saya bersekolah di SLTP tersebut. Setelah lulus dari SLTPN 19 saya melanjutkan sekolah kembali, kali ini saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 10 Bekasi. Setelah tamat dari sana saya melanjutkan pendidikan di Unversitas Negeri Jakarta sampai pada saat ini.
Cukup banyak prestasi yang pernah saya raih selama saya saya bersekolah dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Pada saat sekolah dasar saya pernah menjadi perwakilan sekolah untuk dokter kecil untuk mengikuti seminar dan pengenalan profesi dokter. Selain itu saya pernah menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti perlombaan “Calistung” membaca, menulis, dan berhitung antar sekolah dasar di Kota Bekasi, hasilnya pun alhamdulillah cukup baik, pada saat itu sekolah saya menjadi juara 2. Kemudian di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama saya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Cukup banyak prestasi yang saya dan sekolah saya peroleh dalam kegiatan ekstrakirukuler ini. Beberapa diantaranya adalah menjadi juara 2 lomba baris-berbaris antar SLTP se Kota Bekasi dalam rangka HUT PRAMUKA. Kemudian sekolah saya juga pernah menjadi perwakilan Profinsi Jawa Barat untuk mengikuti perlombaan pramuka tingkat SLTP se Indonesia. Selain itu masih banyak lagi prestasi yang saya raih dalam kegiatan ekatrakurikuler pramuka.
Cita-cita yang ingin saya capai kedepannya adalah memberikan kontribusi bagi pendidikan di Indonesia, karena melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari standar negara-negara lain. Salah satunya ialah saya ingin mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, jadi tidak hanya orang mampu saja akan tetapi orang yang tidak mampu pun mampu bersekolah. Hal ini bertujuan untuk mencerdaskan para penerus bangsa. Banyak anak-anak di luar sana yang sebenarnya memiliki tingkat kecerdasan atau potensi yang tinggi akan tetapi dikarenakan tidak adanya biaya untuk bersekolah maka anak tersebut tidak dapat mengembangkan pengetahuan dan potensi yang dimiliki.
Untuk mewujudkan cita-cita ini saya harus lebih banyak lagi balajar, lebih banyak lagi membaca buku atau mencari informasi-informasi tentang pendidikan yang lain. Saya juga harus dapat terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi nyata dari pendidikan di lingkungan masyarakat. Selain itu saya juga dapat berkonsultasi atau mendengarkan penjelasan tentang pendidikan dari narasumber yang terlibat dalam bidang pendidikan di Indonesia.

Pembiayaan Pendidikan

Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.

Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.

Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?

Partisipasi

Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.

Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).

Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).

Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).

Keterbatasan dana?

Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.

Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.

Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.

Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.

Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?

Proyeksi pengembangan

Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.

Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.

Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.

Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.

Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.

Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam

(Kompas, 29 Agustus 2007)

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

PendahuluanOrang miskin dilarang sekolah,” demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme –seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah– neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.

Pendidikan Tanggung Jawab NegaraBeda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji, hal. 12).

Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Nabi SAW bersabda :

“Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim).

Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam KhilafahSistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat iniTelah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :

1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).

2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).

3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)

4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Potret Otonomi Pendidikan

Depdiknas Hambat Desentralisasi

2007-11-28 01:03:06

Dalam sejarah Otonomi Award, sangat sulit menemukan inovasi kebijakan daerah di bidang pendidikan yang murni lahir dari daerah. Mayoritas kebijakan atau program kabupaten/kota merupakan turunan program nasional dan/atau provinsi. Berikut ulasan Nur Hidayat dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
--------

Jika merujuk UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Ironisnya, atas nama standardisasi dan pengendalian mutu secara nasional, tidak sedikit kebijakan teknis yang seharusnya bisa diserahkan kepada daerah justru dikendalikan pemerintah pusat dengan cara-cara yang cenderung sentralistis.

Salah satu contoh kebijakan yang paling kontroversial selama tiga tahun terakhir adalah penyelenggaraan ujian nasional. Meski dikritik dan ditentang kalangan akademisi karena dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, pemerintah bergeming.

Contoh lain adalah mekanisme penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diperuntukkan bagi pembiayaan pendidikan dasar (SD/MI/salafiah dan SMP/MTs/salafiah). Seharusnya, pembiayaan pendidikan dasar -sebagai salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah daerah- disalurkan melalui mekanisme pembiayaan desentralisasi. Tapi, karena menjadi bagian dari program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS BBM), dana BOS justru disalurkan melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi.

Uniknya, dalam kedua contoh kasus tersebut, aparat pemerintah daerah -terutama pejabat dinas pendidikan- justru memilih diam dan cenderung "menikmati" kebijakan pemerintah pusat itu. Padahal, mengutip pendapat Daniel M. Rasyid, pengambilalihan wewenang evaluasi dari tangan guru melalui ujian nasional merupakan tamparan bagi profesi guru. Dalam kasus penyaluran dana BOS, aparat dinas pendidikan di daerah lebih mirip staf administrasi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) daripada pejabat yang mempunyai otoritas dan otonomi sendiri.

Enggan

Jika dicermati lebih dalam, sedikitnya ada tiga hal yang menjadi indikator keengganan pemerintah dalam mendorong percepatan desentralisasi pendidikan. Pertama, selain proyek fasilitas pembentukan dewan pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta komite sekolah, hampir tidak ada program signifikan dalam pemberdayaan kedua institusi baru tersebut yang didanai APBN/APBD. Program peningkatan kapasitas dewan pendidikan dan komite sekolah yang berlangsung selama ini cenderung artifisial dan sekadar memenuhi standar formal-prosedural.

Buktinya, berdasar hasil temuan monitoring JPIP, sangat sedikit daerah yang memberikan dukungan dana yang memadai bagi kegiatan operasional dewan pendidikan. Selain itu, jarang dijumpai pejabat dinas pendidikan yang membanggakan kinerja dewan pendidikan atau komite sekolah di daerahnya. Padahal, kedua institusi tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan otonomi pendidikan.

Kedua, sejak UU Sisdiknas diberlakukan pada 8 Juli 2003 hingga hari ini (sekitar 3,5 tahun), pemerintah baru menerbitkan dua peraturan pelaksanaannya. Kedua peraturan itu adalah PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Padahal, UU Sisdiknas membutuhkan tidak kurang dari satu lusin peraturan pelaksanaan.

Peraturan pelaksanaan yang tidak kalah mendesak untuk diterbitkan seperti yang mengatur pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pendanaan, dan pengelolaan pendidikan, pendidikan agama dan keagamaan, hingga wajib belajar pun seakan menjadi menu "to do list" di telepon seluler pejabat Depdiknas. Tidak banyak yang tahu, sudah berapa besar anggaran yang disedot untuk pembahasan beberapa peraturan yang dijanjikan rampung sejak pertengahan 2004 tersebut.

Lebih dari itu, akibat keterlambatan tersebut, beberapa kebijakan dasar Depdiknas selama 3,5 tahun terakhir seperti berjalan di atas hukum rimba. Contohnya, pembiayaan pendidikan dasar yang hingga kini masih menggunakan mekanisme dekonsentrasi.

Ketiga, kebijakan ujian nasional. Di luar perdebatan tentang aspek pedagogis dan yuridis terkait dengan UU Sisdiknas yang selama ini berkembang, pelaksanaan ujian nasional merupakan cermin semangat antidesentralisasi yang diidap pejabat Depdiknas.

Sebab, Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Depdiknas 2003 yang berlangsung pada 15-17 Juli 2003 -seminggu setelah UU No 20/2003 ditandatangani Presiden Megawati -sebenarnya telah menetapkan sekolah sebagai pelaksana ujian (akhir) nasional atau UAN mulai 2004. Mendiknas (waktu itu) Malik Fadjar menyatakan, pihaknya hanya memberikan pedoman dan beberapa materi soal UAN yang harus diujikan sekolah sesuai standar nasional dan tidak ada lagi UAN ulangan.

Pemberian wewenang tersebut dimaksudkan agar mutu lulusan sekolah setempat meningkat melalui pemberian soal UAN dan ujian sekolah yang tidak lagi nerupa soal pilihan berganda, tapi jawaban tertulis (esai). Selain itu, Depdiknas akan membentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) yang bertugas menilai pelaksanaan UAN di sekolah. Jika sekolah tidak serius melaksanakan UAN, akreditasi sekolah dinyatakan rendah (KCM,
18/7/2003).

Jika dicermati, keputusan tersebut amat sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan dalam UU No 20/2003. Sebab, evaluasi hasil belajar merupakan wewenang pendidik, sedangkan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah adalah mengevaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 58 dan 59 UU Sisdiknas).

Ironisnya, usia keputusan itu justru tidak sampai seumur jagung. Pada 4 Oktober 2003, Mendiknas Malik Fadjar mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 yang menjadi episode pertama serial "drama kolosal" inkonsistensi kebijakan UAN pasca pengesahan UU No 20/2003.

Kini, meski kebijakan tersebut sedang digugat di pengadilan melalui mekanisme citizen lawsuit, pemerintah tetap bergeming. Ujian nasional tetap akan dilaksanakan pertengahan April nanti. Dinas pendidikan di berbagai daerah pun menangkap peluang itu dengan sibuk menyiapkan proyek try out.

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN JARAK JAUH

Abstrak
Studi ini mengenali dua faktor yang menjadi kontribusi pembiayaan belajar jarak jauh:
Pembiayaan keuangan dan efektivitas biaya. Analisis yang didasarkan atas perkembangan terakhir mengenai pendidikan jarak jauh dan juga pengalaman lembaga-lembaga Indonesia yang menyelenggarakan program pendidikan jarak jauh, menemukan bahwa metode belajar satu arah memiliki biaya keuangan yang relatif paling rendah. Sebaliknya, metode pendidikan jarak jauh dua arah menghasilkan efektifitas lebih tinggi tentunya dengan biaya keuangan lebih tinggi pula. Studi ini juga memberikan peta berbagai metode belajar jarak jauh dan metode tatap muka berkaitan dengan biaya keuangan dan efektifitas metodenya.


Biaya Belajar Jarak Jauh
Dalam beberapa tahun ini ada pertumbuhan kebutuhan individu dan organisasi dalam memanfaatkan belajar jarak jauh sebagai alat untuk belajar. Belajar jarak jauh memberikan beberapa keuntungan dibandingkan belajar tradisional termasuk keluwesan dalam belajar dan menghemat biaya perjalanan dan akomodasi.

Perkembangan yang cepat dalam telekomunikasi telah membuat pendidikan jarak jauh lebih menarik dan lebih efektif. Metode telekonferensi, misalnya, memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan fasilitator.

Namun di sisi lain, ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan dalam belajar jarak jauh. Biaya itu tidak hanya tercermin dalam masalah keuangan tetapi juga aspek lain, seperti, kurangnya efektifitas dibandingkan dengan belajar ruang kelas tatap muka. Hal ini mengarahkan kita kepada suatu pertanyaan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti program belajar jarak jauh.

Studi berikut ini mencoba menjabarkan pertanyaan ini dengan menganalisis informasi yang telah dikumpulkan dari literatur, pengalaman beberapa anggota lembaga IDLN (Indonesian Distance Learning Network) yang menyelenggarakan belajar jarak jauh untuk karyawan mereka, dan pengalaman Institut Manajemen PPM dalam menyelenggarakan manajemen publik jarak jauh.
Bagian pertama studi ini mendiskusikan adanya peningkatan kebutuhan terhadap belajar jarak jauh dan metode yang digunakan dalam menyelenggarakan proses belajar. Bagian kedua studi ini menganalisis aspek biaya program belajar jarak jauh dan membandingkan biaya di antara berbagai macam metode dalam belajar jarak jauh.

Kebutuhan yang meningkat
Tak ada keraguan bahwa kebutuhan untuk mendayagunakan belajar jarak jauh meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Universitas tidak hanya menawarkan belajar jarak jauh tetapi juga berkolaborasi dalam konsorsium seperti Universitas Cardean. Yang lain mengembangkan portal belajar dengan perusahaan-perusahaan seperti Pensare dan Powered (The Economist, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan International Datra Corporation (IDC) di tahun 1998, 60% dari semua universitas di Amerika Serikat telah mengenalkan bentuk belajar jarak jauh dan diperkirakan pada tahun 2002 bentuk ini akan mencapai 90% (Oshima, 158, 2001). Di Amerika Serikat, e-learning, yang merupakan satu tipe belajar jarak jauh menggunakan komputer, telah tumbuh rata-rata pertahun 42% untuk lima tahun terakhir.

Di Indonesia, Universitas Terbuka yang menawarkan program gelar melalui belajar jarak jauh dapat akan segera diikuti oleh universitas lain karena adanya deregulasi belajar jarak jauh oleh Menteri Pendidikan Indonesia pada Agustus 2001. Kementerian-kementerian Besar Indonesia seperti Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja menyelenggarakan beberapa pelatihan untuk karyawan mereka dengan cara belajar jarak jauh. Institut Manajemen PPM, yang melaksanakan belajar program kursus manajemen jarak jauh, mengalami peningkatan jumlah peserta sebanyak 42% yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan peserta selama tiga tahun terakhir.

Macam-macam metode dalam belajar jarak jauh
Berdasarkan tujuannya, ada dua tipe institusi yang terlibat dalam belajar jarak jauh. Tipe pertama terdiri dari perusahaan yang membutuhkan latihan atau informasi kepada karyawan mereka berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan juga prosedur dan sistem yang baru untuk peserta pelatihan. Tipe kedua meliputi universitas atau lembaga pelatihan yang menawarkan program degree dan non degree untuk masayarakat umum. Dua tipe lembaga ini, yang berperan sebagai produser, didukung oleh lembaga-lembaga lain dalam mendistribusikan informasi. Lembaga pendukung ini meliputi jasa pos, perusahaan telekomunikasi dan penyedia software dan hardware.
Karena ada bermacam-macam metode proses belajar jarak jauh, kita dapat mengklasifikasikan mereka dalam dua tipe metode belajar. Pertama adalah tipe belajar satu arah yang merupakan kuliah melalui bermacam media (misalnya siaran radio, tv) di mana peserta didik hanya menerima informasi tetapi tidak dapat mengajukan pertanyaan.

Tipe kedua metode belajar adalah metode dua arah. Pada metode ini, peserta didik dan sumber belajar dapat berinteraksi. Contoh metode belajar dua arah adalah diskusi kasus melalui telekonferensi.

Walaupun kita dapat membagi metode belajar jarak jauh ke dalam dua katagori (yakni metode satu arah dan dua arah), banyak pelatihan menggunakan kombinasi dua metode ini. Misalnya, suatu pelajaran dikirim melalui bentuk tulisan kepada peserta didik (misalnya melalui surat, e-mail), kemudian peserta didik dapat mengajukan pertanyaan kepada instruktur.

Belajar tatap muka memiliki keuntungan fleksibel dalam menggunakan baik metode belajar satu arah maupun dua arah. Di samping fakta ini, ada upaya kelanjutan dari provider belajar jarak jauh untuk meniru belajar ruang kelas tatap muka agar mencapai efektifitas belajar yang sama. Universitas Phoenix misalnya, yang menawarkan program MBA secara online tahun 1989 dan diikuti oleh 12.500 peserta, lima kali lebih besar daripada kelas tatap muka dan beroperasi di 23 kota (Mc.Ginn, 2000). Perkembangan teknologi terakhir telah memungkinkan siswa mengambil bagian dalam sesi percakapan jarak jauh.
Di Universitas North Carolina - Chapel Hill ada program pembelajaran yang memanfatkan suatu ruang yang dinamakan 'ruang holografik' di mana siswa merasa berada di ruang kelas maya dengan menggunakan alat scanning mata yang berharga $10.000. "Ruang latihan" holografik dapat diciptakan tidak hanya dengan kehadiran instruktur tetapi juga dikelilingi oleh peserta lain dari lokasi yang tersebar secara geografis (Barbian, 2001).

Biaya belajar jarak jauh
Sebelum mendiskusikan biaya belajar jarak jauh kita harus merespon dua pertanyaan besar : (1) bagian apa yang harus digunakan sebagai titik acuan untuk menentukan seberapa banyak biaya yang diperlukan untuk mengikuti program belajar jarak jauh? (2) apa definisi biaya? Apakah itu hanya berkaitan dengan masalah keuangan atau aspek lain?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, adalah penting untuk melihat komponen biaya dalam melaksanakan program belajar jarak jauh. Dasarnya biaya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase proses : produksi, distribusi dan resepsi (Belawati, 2000). Biaya produksi meliputi biaya persiapan dan produksi bahan belajar. Biaya distribusi meliputi biaya penggunaan bermacam media, misalnya surat, telekomunikasi. Terakhir biaya resepsi adalah biaya yang harus dibayar oleh siswa, seperti biaya uang bayaran pelatihan atau pendidikan, biaya komputer, biaya listrik yang memang bagi siswa agar dapat belajar.

Oleh karena biaya produksi dan distribusi adalah komponen yang "dibiayai" oleh siswa, maka akan lebih tepat untuk mempertimbangkan biaya belajar jarak jauh secara total untuk siswa, yang kita sebut dengan biaya keuangan.

Pertanyaan kedua dapat dijawab dengan menggunakan titik pandang siswa. Biaya dalam istilah keuangan riil adalah faktor utama bagi siswa. Namun, ada "biaya" lain yang dilkeluarkan bagi siswa. Biaya-biaya itu meliputi waktu yang dibutuhkan (yakni panjang waktu yang dikehendaki untuk mempelajari suatu subjek), kehilangan efektifitas (misalnya apakah siswa sungguh mempelajari subyek?, tingkat putus sekolah). Kita dapat klasifikasikan semua biaya lain itu dalam dimensi "efektifitas".

Oleh karena itu, dua dimensi biaya belajar jarak jauh adalah : (1) biaya langsung (yakni biaya yang dikeluarkan oleh siswa) dan (2) efektifitas. Di samping itu, ada dua kelompok metode belajar jarak jauh yang harus dipertimbangkan dalam mengkalkulasikan biaya: (1) satu arah (2) dua arah.

Pilihan metode belajar dan juga media yang digunakan mempengaruhi biaya program belajar jarak jauh. Misalnya latihan menggunakan bahan-bahan cetak dikirim melalui surat adalah lebih murah dibandingkan dengan latihan yang sama dilaksanakan melalui telekonferensi via satelit.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam mengkalkulasikan biaya belajar jarak jauh adalah ekonomi skala. Unext.Com, universitas internet baru, terdiri dari lima sekolah elit - Columbia, Stanford, Chicago Melon dan London School of Economics menghabiskan $100 juta sebelum membuka program bisnis. Universitas itu membutuhkan $ 1 juta per course untuk mengembangkan kurikulum online dan strategi pembelajarannya yang baru melalui jaringan (McCormick, 2000). Dengan investasi yang sungguh besar adalah penting untuk memiliki sebanyak mungkin siswa agar mencapai economi skala.

Berkaitan dengan biaya yang dibayar siswa, Belawati (2000) berdasarkan atas studi yang diselenggarakan Dhanarajan (1994) menyarankan bahwa biaya penyelenggaraan belajar jarak jauh masih lebih rendah daripada pelatihan tatap muka.

Berdasarkan metode dan media yang digunakan, biaya pelatihan jarak jauh kira-kira 20% sampai 70% dari pelatihan tatap muka (konvensional). Di Institut Manajemen PPM, pelatihan manajemen jarak jauh menghabiskan biaya sekitar 20% dari biaya pelatihan tatap muka. McCormick (2000) menyarankan bahwa biaya di Unext bisa mencapai 80% dari biaya sekolah reguler bisnis paling terkenal di Amerika Serikat.

Dalam masalah efektifitas, tipe media yang digunakan dapat juga mempengaruhi pemahaman siswa. Kiser (1999), misalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan Deltaware,Inc. menemukan bahwa tingkat pemahaman siswa membaca bahan pelatihan melalui layar komputer hanya mencapai 25%. Sementara menggunakan text yang sama pada bahan cetak meningkatkan pemahaman sampai 70%.

Suatu survey atas peserta pelatihan manajemen yang dilakukan di Institut Manajemen PPM menunjukkan bahwa pelatihan tatap muka lebih efektif daripada pelatihan belajar jarak jauh.

Penemuan ini diperbesar oleh beberapa lembaga Indonesia yang menyediakan pelatihan jarak jauh untuk karyawan mereka yaitu bahwa walaupun menghabiskan biaya lebih tinggi, peserta lebih suka metode tatap muka ini.

Berdasarkan analisis sebelumnya kita dapat mengembangkan suatu peta dengan biaya keuangan dan biaya efektifitas karena dua dimensi utama itu. Peta, seperti ditampilkan pada gambar 1, menempatkan belajar jarak jauh menggunakan metode satu arah dan dua arah dan juga belajar ruang kelas tatap muka.


Peta itu menunjukkan bahwa metode belajar jarak jauh satu arah tidak hanya relatif lebih murah tetapi juga metode paling murah. Metode dua arah memiliki biaya keuangan lebih tinggi tetapi lebih efektif daripada metode satu arah. Akhirnya metode ruang kelas tatap muka dapat menjadi metode paling mahal tetapi fleksibilitasnya dalam pemilihan alat satu arah (misalnya pemberian kuliah) dan alat dua arah (misalnya diskusi kasus) membuatnya metode paling efektif di antara ketiga hal itu.

Pembiayaan Pendidikan Perlu Diatur Lebih Tegas

Rabu, 5 Maret 2008 | 20:39 WIB

JAKARTA, RABU - Pembiayaan pendidikan masih harus diatur lebih tegas lagi. Terutama dengan adanya istilah pendidikan gratis yang kian mencuat, terutama dalam kampanye-kampanye pemilihan pejabat.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk Membedah Persfektif Pembiayaan Pendidikan, Rabu (5/3). Salah satu pembicara, pengamat pendidikan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika mengungkapkan, terdapat kesenjangan yang lebar terhadap pemaknaan "pendidikan gratis." Masyarakat mempersepsi pendidikan gratis sebagai gratis untuk semua keperluan pendidikan mulai dari SPP, buku, tas, pakaian, bahkan ongkos ke sekolah.

Pemerintah sendiri tidak mendefinisikan dengan jelas makna dari pendidikan gratis. Pemerintah pusat mengimplementasikannya dalam bentuk BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Sedangkan, pemerintah daerah seperti di DKI Jakarta melaksanakannya dalam bentuk BOP atau Biaya Operasional Pendidikan. Pendidikan gratis di DKI Jakarta diterjemahkan sebagai BOS ditambah BOP, tanpa dirinci biaya dan bantuan itu untuk pembiayaan apa saja.

Agus Suradika mengatakan, sebetulnya jika pemerintah mewajibkan warga negara untuk belajar melalui program wajib belajar pendidikan dasar, berarti pendidikan merupakan barang publik. Dengan diposisikan sebagai barang publik, pemerintah berwenang untuk mengatur. Namun, agar memiliki kekuatan memaksa, pemerintah sudah seharusnya menanggung bagian terbesar dari dana pendidikan.